Waktu: Jakarta, 3 Februari 2025, pukul 02.43 WIB
Hujan turun perlahan seperti desah rahasia yang enggan terbongkar. Di luar, suara rintiknya berpadu dengan dengkuran kota yang tak pernah tidur. Tapi di dalam salah satu dapur restoran paling prestisius di Jakarta Selatan—Restoran Almarwa—sunyi justru terasa mencurigakan.
Briptu Ayara Maheswari, 28 tahun, berdiri di ambang pintu dapur utama. Jaket kulit hitamnya basah di bahu, rambutnya dikuncir tinggi, dan mata elangnya menyapu ruangan tanpa berkedip. Sepatu boot-nya menginjak lantai keramik putih yang mengilap, meski kini ternoda merah tua. Sorot matanya tajam, tenang, penuh pertimbangan—seperti sedang mencoba mencium jejak waktu yang tersisa.
Seorang pria terbujur kaku di tengah ruangan, terlentang di antara rak bumbu dan meja stainless steel. Kedua matanya terbuka lebar, menatap langit-langit seperti sedang mencoba mengingat sesuatu yang penting, namun sudah terlambat.
Di atas dadanya, bertebaran biji kapulaga.
Ayara melangkah pelan mendekat, suara hak sepatunya menggema di antara dingin logam dan keramik. Ia berjongkok perlahan, menyentuh sarung tangannya, dan menatap biji rempah itu tanpa menyentuhnya.
"Kapulaga...?" gumamnya, nyaris tak terdengar.
"Ya, Bu... kami juga belum tahu kenapa bisa ada di situ. Korban tidak memiliki luka luar, tapi jantungnya berhenti tiba-tiba." Suara itu datang dari Bripka Arfan, rekan setimnya, pria berambut cepak dengan wajah selalu terlihat terlalu serius untuk jam tiga pagi.
Ayara mendongak. "Chef Rasyid yang melapor?"
"Iya. Dia katanya mencium bau rempah dari dapur ini. Padahal sudah kosong sejak jam sepuluh malam."