Waktu: Blambangan, 16 Agustus 1930, pukul 18.15 WIB
Senja menyelimuti dapur dengan cahaya jingga yang temaram. Kartika sedang mengaduk sup ikan di wajan tanah liat, sementara Nares duduk diam di sudut, memperhatikan kobaran api kecil yang terasa terlalu nyata untuk disebut mimpi.
"Apa kau pernah bermimpi tentang tempat yang tak kau kenali, tapi terasa familiar?" tanya Nares perlahan.
Kartika menoleh sambil meniup uap dari sendok kayu. "Maksudmu seperti... dejavu?"
"Bukan hanya dejavu," gumam Nares. "Tapi seperti... melihat bayangan dirimu di masa lain. Tapi bukan kamu."
Kartika mendekat, meletakkan sendok, lalu duduk di seberangnya. "Aku sering bermimpi tentang wanita muda berseragam aneh, memegang semacam alat di tangannya. Ia selalu mencium sesuatu, lalu menangis. Kadang aku rasa... itu aku."
Nares menatap Kartika tajam. "Wanita berseragam...?"
"Iya. Ada lambang seperti bulan di dadanya. Dan selalu ada suara... seolah dunia tak lagi punya rasa."
Mereka terdiam. Hanya suara gemeretak kayu terbakar yang terdengar.
"Aku juga bermimpi," kata Nares. "Tentang dunia di mana makanan hanya cairan. Tak ada dapur. Tak ada rasa. Tapi ada seseorang... yang mencium kapulaga dan teringat pada—"
Tiba-tiba udara di dapur bergetar. Api mendesis, lalu seolah tersedot ke arah mangkuk kecil yang diletakkan di atas meja.