Waktu: Jakarta, 28 April 2025, pukul 14.55 WIB
Hening menyelimuti dapur Restoran Langit Rempah. Uap dari kotak kayu masih bergulung perlahan, menyebarkan aroma yang membingungkan: antara kapulaga basah, kembang lawang, dan sesuatu yang seperti... kenangan.
Rasyid menatap hidangan di depan mereka. Ia tak menyentuh, hanya menatap, seperti berhadapan dengan roh masa lalu yang bangkit tanpa diundang.
“Aku belum pernah mengajarkan ini pada siapa pun,” gumamnya pelan.
“Aku juga tidak,” sahut Nares. “Itu resep ibuku. Tapi aku tidak pernah menulisnya. Tidak pernah.”
Ayara berjongkok di depan meja, mencium uap makanan itu dengan penuh kehati-hatian. “Bahan utamanya jelas kapulaga, tapi ada tekstur rasa yang aneh... seperti ditanam, bukan disimpan.”
Nares mengangguk. “Kapulaga itu ditanam di kebun belakang rumahku. Tapi hanya satu pohon yang tumbuh. Dan itu... muncul seminggu setelah aku kembali.”
“Setelah kau kembali dari mana?” tanya Ayara cepat.
Nares menatapnya. “Kau tahu jawaban itu, bukan?”
Ayara tak menjawab. Tapi dari gerak alisnya yang menegang, terlihat ia sedang berperang antara rasa percaya dan penolakan.
Rasyid berjalan perlahan, mengambil sendok kecil dari rak dapur. Ia menyendok sedikit kuah dari mangkuk, lalu hanya mencium.
“Ini... bukan sekadar masakan. Ini semacam tanda panggil.”
“Panggil siapa?” tanya Ayara.