Waktu: Jakarta, 29 April 2025, pukul 07.03 WIB
Pagi itu di lantai dua Restoran Langit Rempah, aroma jahe dan kayu manis mengambang pelan di udara. Tiga cangkir teh dibiarkan mendingin, tak ada satu pun yang disentuh. Ayara, Nares, dan Rasyid duduk melingkar di atas meja bulat kecil, dengan selembar kertas kusut yang dilipat empat di tengahnya.
“Kapulaga yang dipakai Dimas ini bukan dari pasar biasa,” ujar Ayara, memecah keheningan. “Terlalu kuat aromanya, terlalu... hidup.”
“Dia pasti dapat dari jalur khusus,” timpal Nares. “Chef-chef tertentu punya jaringan rahasia, pasar dalam pasar. Kadang hanya terbuka kalau kau menyebut nama yang tepat.”
Rasyid mengangguk pelan. “Ayahku pernah cerita soal itu. Pasar Induk Kramat Jati bukan cuma pasar. Ada sudut-sudut yang tidak tertulis di peta. Orang-orang yang tidak akan menjawab jika ditanya secara langsung.”
Ayara menyandarkan punggung. “Kita pergi siang ini. Tapi kita tidak pergi sebagai polisi. Kita pergi sebagai pencari rasa.”
Waktu: Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, 29 April 2025, pukul 13.22 WIB
Suhu pasar yang lembap membuat pelipis Ayara basah. Di antara teriakan pedagang, suara pisau membelah daging, dan tawa anak kecil, mereka bertiga menyusuri lorong demi lorong. Tak ada papan petunjuk. Tak ada yang menyambut.
Mereka bertanya pada dua pedagang rempah, tapi semuanya menggeleng cepat. Beberapa bahkan menjauh.
Setelah satu jam berputar, langkah mereka sampai ke lorong belakang, lebih sempit, dengan bau yang lebih menusuk. Sebuah lapak kecil dengan karung-karung rempah yang ditutup kain goni terlihat sepi.