Waktu: Perjalanan ke Sukmajati – 30 April 2025, pukul 05.11 WIB
Langit masih kelabu saat mobil melaju membelah kabut tipis di ujung Jakarta. Di dalam kabin yang senyap, hanya terdengar detak jam dashboard yang terasa lambat. Ayara menggenggam kemudi erat-erat, matanya tak lepas dari layar peta kertas yang diberikan Surya—peta tanpa nama, dengan garis tangan menggambarkan jalan menuju Sukmajati. Tidak ada dalam GPS, tidak ada dalam arsip pemerintah.
Rasyid duduk di depan, memejamkan mata sambil menggumamkan doa-doa lama yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah hidup di antara rasa dan keheningan.
Nares di kursi belakang membuka selembar kertas tua yang ia temukan di antara tumpukan surat ibunya. Ada satu simbol di tengah: biji kapulaga yang digambarkan seperti mata tertutup. Dan di bawahnya, sebuah kalimat: “Rasa tidak pernah pergi, ia hanya menunggu untuk dikenang.”
Waktu: Desa Sukmajati, pukul 09.01 WIB
Kabut tak kunjung sirna saat mereka tiba. Desa itu seperti lukisan yang tak pernah selesai: rumah-rumah tua, pohon jati membisu, dan tanah yang terlalu sunyi. Tidak ada hewan, tidak ada anak kecil.
Di ujung jalan, mereka menemukan seorang nenek duduk di bawah pohon asem tua. Wajahnya keriput seperti tanah retak, dan tatapannya kosong—namun tajam, seperti mengenal masa lalu mereka.
“Tiga jiwa yang membawa kenangan rempah,” bisiknya lirih. “Sukmajati bukan tempat. Ia pintu.”
Ayara menunduk sopan. “Kami ingin mencari kapulaga.”
“Bukan hanya kapulaga. Kalian mencari rasa yang pernah dibelah,” balas sang nenek. Ia menunjuk ke arah hutan bambu. “Ikuti aroma yang mengingatkan kalian pada luka. Tapi ingat, jangan jawab bila nama kalian dipanggil oleh suara yang kalian cintai.”
Waktu: Jalan Setapak Menuju Kebun – Pukul 09.30 WIB
Lorong bambu menyempit, dan hawa udara berubah drastis. Dingin. Basah. Di tiap langkah, tanah seperti mengembuskan napas pelan. Pepohonan tinggi membentuk lorong alami, dan daun-daun kering jatuh tanpa suara. Tak ada angin. Tapi aroma itu... semakin pekat.