Waktu: Rumah Tanpa Pintu, Sukmajati – 30 April 2025, pukul 11.55 WIB
Langit menggantung kelabu di atas rumah yang tak memiliki pintu. Kabut bukan lagi sekadar suasana, tapi wujud yang bergerak—mengendus, menekan, menyusup ke pori-pori para penjaga rasa baru yang tak pernah mereka sadari telah menjadi bagian dari warisan.
Tungku yang sebelumnya mati kini menyala dengan warna ungu kebiruan. Suara desir muncul dari botol kaca berisi tiga biji kapulaga. Biji-biji itu bergetar, lalu satu persatu memancarkan cahaya yang berbeda—emas, hijau zamrud, dan merah tua. Kabut menggumpal, lalu mengalir cepat seperti tumpahan air mendidih ke arah ketiganya.
“Pegang tangan saya!” seru Ayara, tapi Nares sudah lebih dulu mengulurkan tangan ke Rasyid.
Seketika dunia seperti runtuh, bukan dalam dentuman, tapi seperti rasa pahit yang mengendap di lidah terlalu lama. Segalanya gelap. Tapi aroma bertahan.
Waktu: Kerajaan Madayung Agung, lokasi tak terpetakan – entah kapan
Tubuh mereka tergolek di antara rerumputan tinggi dengan tangkai kapulaga liar di sekelilingnya. Daunnya berkilau keperakan, seperti dilapisi kabut pagi yang tak menguap. Mereka bertiga terengah-engah.
“Ini... bukan tahun kita,” gumam Rasyid.
Nares melihat tangannya—ia masih mengenakan jam tangan digital yang sudah mati. Ayara memegang lehernya, tempat liontin kecil peninggalan ibunya kini terasa panas. Dan seolah menjawab, suara menggema pelan namun tegas:
“Kalian tidak berpindah waktu. Kalian diundang oleh rasa.”
Tiba-tiba tubuh Ayara terasa berbeda. Ia memandangi dirinya di permukaan air kecil di sampingnya—wajahnya bukan miliknya. Ia menjadi Kartika. Rambut tersanggul, kebaya hijau muda, dan cap segitiga kecil di pergelangan tangannya: JGP.