Waktu: Kerajaan Madayung Agung – Hari Kesepuluh Bulan Kaputren
Istana Madayung Agung muram. Tirai-tirai bambu ditutup rapat. Pasukan pengawal berjaga dalam diam. Raja Prabu Reksadarma, penguasa yang bijak dan kuat, terbaring lemah di atas dipan kayu jati tua. Tubuhnya menggigil tak terkendali. Semua tabib sudah dipanggil, dari lereng Gunung Tidar hingga utara Alas Nirmala. Tidak satu pun mampu menurunkan demamnya. Lidah sang raja kehilangan rasa. Dan ketika rasa lenyap, suara pun ikut hilang.
Hari ketiga tanpa bicara, Nyi Sri Jagapati dipanggil. Ia masuk tanpa genta atau pengawal. Hanya membawa satu bungkusan kain putih, di dalamnya dua biji kapulaga tua yang mulai memucat.
“Yang mulia, bukan panas tubuhmu yang membunuhmu. Tapi rasa dalam dadamu yang tak lagi bisa mengalir,” bisiknya di samping telinga raja.
Ia menumbuk kapulaga bersama air rendaman daun kelor dan tetes madu gunung. Sebuah ramuan rasa ingatan. Dituangkan perlahan ke mulut sang prabu.
Dalam waktu kurang dari satu jam, jari-jari sang raja kembali menggenggam. Ia membuka mata. Nafasnya melambat. Tapi yang mengejutkan bukan hanya kesembuhannya.
“Aku... melihat... masa yang belum datang…”
“Aku melihat tanah ini... dipenuhi rumah kaca tinggi... dan manusia yang hidup dengan suara dari kotak kecil...”
Istana sunyi.
Malam itu, di Pendopo Rasa