Waktu: Kerajaan Madayung Agung – Tiga Pekan Setelah Kesembuhan Sang Raja
Di bawah tanah lembap yang tak pernah disentuh cahaya matahari, Kyai Lontang Kumitir duduk memandangi botol kapulaga jiwa yang dicurinya. Aromanya samar, tapi menusuk jiwa. Di ruangan yang hanya disinari pelita minyak wijen, ia berbicara pada empat lelaki dan dua perempuan berkerudung hitam.
“Kita akan menyebut diri kita... Langit Tak Berlidah,” ucapnya.
“Karena ketika rasa dilarang... kita akan menciptakan rasa sendiri.”
Botol kapulaga jiwa itu diletakkan di tengah lingkaran batu tanah liat.
“Kita butuh tahu... apakah biji ini bisa tumbuh kembali. Dan jika bisa, bagaimana? Di tanah macam apa? Dengan uap, embun, darah, atau… keputusasaan?”
Ia menunjuk seseorang—seorang perempuan muda, berambut putih di usia belia. Namanya Jirana, ahli tanah terlarang dari timur. Ia diperintahkan untuk membawa biji itu jauh ke luar batas kerajaan dan mencarikan tanah yang “cukup kehilangan” untuk menumbuhkan rasa.
“Carilah tanah yang pernah menangisi masa lalunya,” bisik Kyai.
Tempat: Pawon Suci – Malam Hari
Nyi Sri Jagapati menatap rak botol-botol rasa. Satu botol hilang. Yang paling kecil, yang berisi sari kapulaga dari malam ketika Lara Wening pertama kali disembuhkan. Botol itu bukan hanya berisi rasa, tapi bekas luka dan doa dari air mata seorang ibu.