Waktu: Kerajaan Madayung Agung – Dua Bulan Setelah Penanaman Bibit Kapulaga Curian
Kabut malam turun perlahan ke atas bukit mati, tempat puluhan prajurit pernah terkubur tanpa nama. Di tengah ladang gersang itu, kini tumbuh satu pohon kapulaga—tingginya tak lebih dari lutut orang dewasa, namun aura yang dipancarkannya mampu membuat anjing-anjing desa enggan melintas.
Jirana, utusan Kyai Lontang Kumitir, menyentuh permukaan daunnya yang keperakan. Tak seperti kapulaga dari pawon suci, biji yang tumbuh dari tanah ini menimbulkan rasa nyeri di ujung lidah dan bau yang menggema seperti dendam.
“Tanah ini… menyimpan air mata. Dan air mata menyimpan rasa.”
Dua lelaki bertopeng menunggu di belakang. Jirana menyerahkan dua botol kecil. Satu berisi biji, satu lagi bubuk hasil tumbukan.
“Ini bisa digunakan. Tapi… aku tak yakin ini akan menyembuhkan.”
Tempat: Markas Langit Tak Berlidah – Ruang Batu Bawah Tanah
Kyai Lontang menatap botol berisi bubuk kapulaga. Ia meletakkannya di tengah meja batu yang dikelilingi enam anak buahnya—masing-masing bertugas sebagai penebar rasa, pengintai pawon, dan pengalih jalur pasar rempah.
“Kita tidak butuh hanya satu rasa… kita butuh rasa yang bisa menundukkan. Menjadikan makanan bukan sekadar kenangan… tapi senjata.”