Waktu: Kerajaan Madayung Agung – Tengah Malam Purnama Kedua
Kabut wangi menyelimuti Pawon Agung. Di tengah aula batu yang diterangi tujuh tungku menyala, Nyi Sri Jagapati berdiri berselubung jubah dari kulit kapulaga tua. Di tangannya, segenggam tanah dari ladang luka, tempat bibit kapulaga jiwa pertama kali ditanam.
Putri Sekar Langit berdiri di sisinya, membawa mangkuk air mawar merah dan tujuh biji kapulaga hitam. Mereka tak sekadar mengukuhkan penjaga, tetapi membangkitkan kembali perempuan-perempuan yang pernah dipatahkan rasa—dan kini akan menjadi pelindungnya.
“Rasa tak tumbuh dari lidah,” suara Nyi Jagapati menggema, “melainkan dari luka yang disimpan terlalu lama. Malam ini, kita panggil kembali mereka yang masih menyimpan rasa paling jujur.”
Ritual Dimulai
Asap dari ketujuh tungku menyatu membentuk pusaran di langit-langit. Dari dalam kabut, satu per satu sosok muncul. Tak melangkah, tapi seolah ditarik oleh rasa yang pernah mereka simpan.
“Aku memanggil… Nyai Ganda Sari.”
Langkahnya perlahan. Tubuhnya kurus, tapi matanya menatap api tanpa gentar. Di dadanya tergantung tas kain penuh akar kering dan serpihan kayu pahit. Ia tak bersuara. Ia hanya membuka tangan, memperlihatkan luka lama yang belum sembuh.
“Aku ingin tahu... apakah rasa bisa menyembuhkan, setelah membunuh seluruh keluargaku.”
“Aku memanggil… Nyai Sarwati.”
Ia datang dengan gaun polos yang ternoda percikan kaldu dan tinta. Di tangannya gulungan sajak-sajak usang. Bibirnya gemetar saat menyebutkan nama anak dan suaminya. Ia menunduk saat kapulaga diletakkan di telapak tangannya.
“Jika rasa adalah bahasa, biarkan aku jadi penjaga aksaranya.”