Kara Angka & Albert Einstein

ursausang
Chapter #2

2. Trigonometri

Pagi ini kelas 11 Ipa 1 dihebohkan oleh Cakra yang tak henti-henti nya merengek dan menjadikan teman sekelasnya sebagai sasaran kekesalanya. Deva yang notabe nya sebagai sabahat dekatnya pun dibuat frustasi, hanya karena kedudukan nya di lima pararel tergantikan oleh anak kelas 11 Ipa 2, Cakra membuat semua orang berencana melemparkannya ke segitiga bermuda agar remaja laki-laki bermulut emak-emak itu lenyap.

“Pokoknya gue mau labrak tu bocah, enak aja ambil tahta gue!” Seru Cakra. Deva dan teman-teman sekelasnya pun tak lagi menghiraukan, mendengarkan keluhan Cakra rasanya sama saja mendengarkan keluhan rakyat Indonesia kepada pemerintah yang tidak ada selesainya.

Mau seberapa banyak wejangan yang Deva berikan tetap tidak berpengaruh. Intinya jika Cakra mulai merasa lelah mengoceh, ia akan berhenti sendiri. Deva juga bingung mengapa ia bisa bertahan untuk tetap berteman dengan Cakra selama belasan tahun. 

Apa mungkin waktu Cakra menginap pertama kali dirumahnya, diam-diam mengambil rambut yang rontok di bantal miliknya lalu pergi ke dukun, agar dirinya tidak pergi meninggalkan Cakra dan menjadi sahabatnya selamanya. Jika benar, maka Deva akan balik mengambil rambut Cakra dan membawa nya kedukun untuk melakukan ritual santet.

Deva menatap Cakra sambil bergidik ngeri, seketika hormon horor nya bertambah kala melihat Cakra yang tertawa sendiri menatap layar ponselnya. Deva menggelengkan kepala nya lalu kembali pada aktifitasnya, secepat itu kah mood Cakra berubah?

***

”Serius Om Sigit ngomong gitu?!” Tanya Manda dengan mata yang melebar. Ah, sepertinya Manda memang begitu, tidak pernah santai dalam berbicara, selalu saja terlihat membentak atau berteriak, padahal memang begitu gaya bicara Manda.

Berbeda dengan Ayu, gadis keturunan Jawa yang selalu halus dan sopan dalam berbicara. Maklum kakek neneknya adalah orang yang disegani di desa nya dulu, berwibawa dan tidak pernah macam-macam, hal itu menurun pada orang tua Ayu dan dirinya saat ini.

Pernah waktu itu, Kara, Manda dan Ayu pergi ke Club. Saat mengantar Ayu pulang diam-diam, mereka disambut oleh orang tua Ayu beserta kakek neneknya. Beliau memang tinggal bersama Ayu karena Ibunda Ayu adalah anak terakhir dan menurut adat Jawa, anak terakhir apalagi perempuan harus tetap tinggal dengan orang tuanya.

Keluarga Ayu berjejer di ruang tamu sambil menatap horor mereka bertiga, setelah itu mereka langsung mendapat wejangan selama dua jam, parahnya lagi wejangan yang keluarga Ayu berikan menggunakan bahasa Jawa halus yang sama sekali tidak Kara dan Manda mengerti.

“Kalo gue jadi lo sih bakalan kabur dari rumah dari dulu” Ucap Manda melipat tangan nya kesal.

Kara mendengus, “Durhaka baru tau rasa lo.”

Lihat selengkapnya