Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #3

Ratnar, Ibu Kota Bravaria

“Mapu Bravaria memasuki aulaaa!”

Hem. Ini dia, laki-laki yang memulai semua keributan di Benua Barat satu dekade silam.

Penampilan orang nomor satu di Panji Beruang, sekarang di Bravaria, itu tidak banyak berubah sejak kesan pertama kami tiga tahun lalu. Hanya, kali ini ia jadi tampak lebih klimis dan cenderung angkuh. Terutama pretelan-pretelan kecil nan berkilap di ujung jubah, tiara, dengan perhiasan di lengan juga jari-jarinya.

Necis sekali.

“Semua berlutuuut!”

Dan, ya. Aku tetap pada pendirianku. Takkan berlutut kepadanya.

“Ho …, kau masih belum mengakui—”

“Membubarkan batalionku …,” ucapku, melangkah perlahan dari belakang barisan hadirin. “Menangkap dan mengaturkan hukuman mati pas diriku merancang alur perbekalan kampanye Mantel Putih di Vom.”

Ketika kami saling berhadapan.

“Aku mengakui Anda,” kataku lekas memberi penegasan, “sebagai Bura Mantel Ungu dan salah satu figur penting di Kesatuan Tentara Panji Beruang, tidak lebih.”

“Apa kau lupa bila diriku kini telah menjadi mapu?” timpalnya enteng, merebahkan diri di singgasana baru yang harus kuakui cukup megah. “Diriku ini jugalah yang sudah memberimu jabatan bura kelima. Jangan bilang, dirimu termasuk orang yang tidak tahu diri, Ure.”

‘Tidak tahu diri.’ Aku ingin tertawa dengar akuannya. “Aku tidak lupa diri, atau … lebih tepatnya tidak lupa siapa orang yang telah membawaku hingga posisi ini.”

Kuangkat kepalaku, menyambut tatapan sang mapu baru.

“Kalau harus kukatakan.” Kugenggam pergelangan tanganku di depan perut. “Itu adalah jasa Bura Parami, bukan Anda.”

Aku dengan sang mapu atau si kaisar ‘amatir’ seketika terjebak dalam sebuah suasana senyap, baik diriku maupun dirinya sama-sama tidak bersuara dan hanya silih lihat. Suasana aneh yang sukar buat kujabarkan menggunakan kata-kata biasa. 

Bukan canggung, takut, atau apa pun sebab yang sanggup membuat seseorang membeku di tempat. Kalau tetap harus kusebut mungkin akan lebih dekat kepada kami tidak tahu harus mengatakan apa selanjutnya.

Satu sisi diriku sadar betul dialah orang yang memegang kuasa untuk mengabulkan keinginanku menjadi bura kelima di Panji Beruang, tapi di sisi lain dirinya pun cuma sekadar penerima aliran arus dari hasil kerja orang lain—jika mau jujur.

Meskipun begitu, dalam hening antara aku dengan sang mapu baru, masih dapat kudengar gumam samar beserta gemerincing gelang dan perhiasan-perhiasan lain di peti yang para utusan di belakangku bawa.

“Kurasa kita sepakat untuk hal itu,” lanjutku, coba memecah ‘keheningan’ tersebut. “Benar, ‘kan, Bura?”

Lelaki klimis di atas sana cuma mengangguk-anggukkan kepala. Entah betulan mengerti apa tidak.

Aku lantas berbalik.

Lihat selengkapnya