“Adakah yang berani menyerbu tembok di depan sana lalu membuka gerbangnya untuk pasukan kita?”
Tanggal 20 Bulan Pertama, Musim Semi 347 Mirandi.
Tiga puluh ribu tentara Mantel Putih yang minggu lalu kupecah buat jadi bala bantuan Mantel Emas kini telah berkumpul di depan Tembok Selatan Taria. Siap menyerbu kota yang dahulu merupakan salah satu lumbung utama kami dan sekarang tengah menjadi pangkalan terdepan musuh itu kapan saja.
“Lapooor! Bura, pesan dari orang kita di belakang.”
“Apa Bura Parami sudah sampai ke Raku?”
“Benar, Bura. Bura Parami dan Bura Bella bahkan sudah membawa pasukan untuk kembali ke Mantrus.”
Bagus. Semua berjalan sesuai rencana.
***
Minggu kemarin, ketika Bura Parami berhasil kami bawa lari.
“Buraaa!”
“Kupingku masih sehat!” sahutku, segera keluar dari tenda begitu dengar Renet memanggil. “Apa terjadi sesuatu, hah?”
“Me-mereka, hah ….” Ia memegangi dada sambil membungkuk, kelihatan capek sekali. “Mereka, Bura …, mereka, hah—mereka berhasil!”
“Mereka siapa?” tanyaku, memegangi pundak dan menopang badannya agar tegap. “Apa yang berhasil?”
“Bura Parami!” Namun, suaranya tetap tidak bisa tenang. “Kita berhasil membawa Bura Parami kembali, Bura. Pengintai bilang, mereka sedang menuju kemari.”
“Bagus.” Kulepas bahu Renet terus balik badan, dan sebelum masuk tenda lagi kubilang padanya, “Suruh semua orang membongkar kemah. Kita akan menyambut mereka lalu lanjut ke Logos.”
“Baik, Bura.”
Ketika aku dan Bura Parami bertemu.
“Kenapa kau lama sekali, Ure?”
Pria berjanggut lebat itu merusak ekspektasiku. Pakaiannya benar-benar lusuh, rambut dengan mukanya gak kalah kumal, dan napasnya bikin mual.
Merusak citra tawanan jaminan di kepalaku.
“Aku dikurung tiga bulan di bawah tanah oleh si Julius, kenapa kau baru muncul sekarang, hah?”
Aku dengan orang-orang di sekitarnya kompak tutup mulut sambil mengibas-ngibaskan tangan.
“Huha, henhing hanha hanhi hulu hanah!” kataku sembari menarik kuda mundur dan menunjuk dirinya, menyuruh orang nomor satu di Mantel Putih itu mandi. “Hami hihak huat hengan haroma hanha ….”
Celingak-celinguk sebentar, ia pun mengangkat lengan lalu mencium ketiak. Huek!
“Hanaaah!” Membuatku sigap meraih tombak dan mangayunkannya, wut! menunjukkan arah sungai kecil tak jauh dari posisi kami. “Hanhi hanah, hanaaah!”
Karena reaksiku dan semua orang sama, Bura Parami pun mengalah. Dia turun dari kuda kemudian pergi mengikuti ujung mata tombakku dan kembali beberapa saat kemudian ….
“Hoi, beri aku baju baru!” teriaknya dengan rambut basah dan badan setengah kering.
Membuatku spontan melotot dan melempar tombak ke depan kakinya. Lung! “Mandi sanaaa!”