Sejak berpisah dengan Bura Parami tiga hari lalu, Renet dan para Caupa Mantel Putih lain jadi lebih banyak diam. Tidak seperti biasaya. Bahkan, suasana sarapan yang umumnya hangat pun tadi pagi terasa tidak kalah dingin daripada perkuburan.
Aku sudah menanyai satu dua apa yang sebenarnya terjadi, tapi jawaban mereka selalu sama. Menggeleng kemudian senyum seakan semua baik-baik saja.
Bawahan mereka juga begitu, tidak ada yang tahu kenapa para caupa ini bak kehilangan gairah.
“Benar gak ada yang punya ide Taria mau kita serang bagaimana?” tanyaku untuk kesekian kali, dan sekali lagi jawaban yang kudapat cuma bisu bersama senyap di markas komando tersebut.
Hem. “Baiklah.” Aku menyerah. “Kibarkan bendera putih dan tarik pasukan mundur, beri mereka makan, terus atur jadwal jaga. Kita tunda penyerangan sampai para penyiasat menemukan cara untuk menerobos gerbang Taria.”
Tantangan besar lain di dekade pertamaku sebagai bagian Panji Beruang. Tembok Taria bukan cuma tinggi, tetapi terkenal licin dan penuh duri. Menyerbunya sembarangan hanya akan menurunkan moral pasukan.
Bahkan hal itu sudah terjadi sebelum percobaan pertama kami lakukan ….
***
“Lapor, Bura! Pengintai telah kembali dari sisi seberang, hasilnya ….”
Hari berganti, Mantel Putih masih dorman di depan Tembok Selatan Taria.
Tidak ada gerakan berarti di kemah tiga puluh ribu tentara ini. Kami hanya mondar-mandir keluar masuk gelanggang sehabis sarapan, tetapi tidak kunjung menarikan maut ataupun jurus-jurus perang layaknya sebuah pasukan dalam suatu pertempuran.
Cuma berbaris, menguap, mendongak sampai siang, terus balik tenda buat makan malam.
“Jadi tidak ada bekas serangan atau lecet apa pun di tembok utara?”
“Benar, Bura.”
Lebih parah, tembok kota yang terkenal sebagai gerbang tenggaranya Tarkaha itu ternyata dalam kondisi prima. Lantas, bagaimana cara pasukan Matilda Barat merebut kota ini tanpa merusak mereka?
“Huh ….” Kututup mulut pakai punggung telunjuk, berpikir dan berusaha mencerna informasi sambil coba mereka berbagai macam simulasi di kepala. “Dulu kita mendapatkan Taria dengan cara menjepitnya dari utara dan selatan lalu mengirim utusan untuk bernegosiasi.”
Saat itu Panji Beruang mengisolasi Taria dari dunia luar dan memanfaatkan keterbatasan lumbung untuk menciptakan tekanan psikologis secara perlahan. Kalau pakai cara itu lagi, maka penundukan bakal butuh waktu lebih dari setahun. Terlalu lama.
Terus juga, kali ini ada bala bantuan dari utara yang mungkin menjadi andalan jika gagal kami bendung.
Jika memaksakan diri menerobos, maka hujan panah, meriam, dengan minyak panas akan siap membasuh barisan pelopor paling depan. Malah kamilah yang dirugikan.
“Pelik, benar-benar sulit.”