Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #6

Tombak Terbang

“Lapooor! Bura, Tupa Halbert berhasil melemahkan tembok sisi timur ….”

Setelah sempat meragukan kecakapan infanteri yang Jambu kirim buat membantuku merebut Taria, kabar baik akhirnya muncul di tanggal 25 Bulan Pertama atau pada hari keenamku berkemah di depan Gerbang Tenggara Tarkaha. 

Mereka, Roban dengan orang-orangnya, berhasil membuat kemajuan. 

Padahal tadi pagi …. 

“Kutanya sekali lagi.” Bala bantuan dari Mantrus itu sama sekali tidak tampak meyakinkan. “Adakah yang punya ide bagaimana kita akan menjebol tembok tebal di sana?”

Zirah dan atribut mereka seadanya, bahkan ada yang menjadikan panci sebagai helm dan tidak memakai alas kaki. Kontras dengan citra Mantrus sebagai Ibu Kota Ekonomi Kerajaan Vom.

Namun, apabila Jambu memilih lalu mengirimkan orang-orang ini kemari itu berarti mereka tidak mungkin sesederhana penampilannya, bukan? 

Toh, permintaanku sangat jelas: aku butuh pasukan untuk merebut Taria.

“Di suratku kubilang, ‘Kirimi aku prajurit terbaik ….’ Kemudian Jambu mengirim kalian kemari.” Jadi, mari kesampingkan hal lain terus fokus. “Selain unit terbaik, lewat surat itu juga kuminta dia agar mengirimkan perkakas berat macam pelantak, manjanik, dengan menara-menara pengepung. Lalu, di mana mereka?”

Kucekak pinggangku.

“Jika, dan hanya jika, Jambu mengirim kalian tanpa perkakas berat yang kuminta ….” Kusapu mata prajurit di depanku. “Itu cuma berarti satu hal: kalian lebih dari sekadar cukup untuk menundukkan tembok besar di sana. Benar, ‘kan—Oi, jawab!”

“Benaaar!”

“Bagus.” Aku senang dengar sorak semangat mereka. “Kalau begitu siapa, siapa di antara kalian yang akan menerima tantangan untuk maju dan merebut tembok besar di sana?”

“Aku!” Satu suara, dengan satu acungan tangan, menyedot semua perhatian siang itu.

Ketika barisan terbuka, ia ternyata seorang anak muda. Perawakannya tidak kekar, tapi juga tidak teramat kurus. Tingginya standar dengan rambut sebahu dan tidak disisir—berantakan.

Pakaian anak itu biasa-biasa, tanpa zirah, dan memakai sandal dari anyaman jerami.

Satu hal yang menarik dari dirinya ketika itu adalah suara lantang. “Aku tahu bagaimana kita akan merebut Taria, Bura.” Dengan nada percaya diri yang tidak kalah angkuh dari mapu amatir juga ajudan Bura Parami saat membiarkannya berkuda sambil mabuk minggu lalu.

Tekanan serupa yang cukup untuk membuat senyumku mekar. “Hem …, siapa namamu, Anak Muda?”

“Aku, Halbert, dari Xuene.”

“Halbert el Xuentina. Kau tidak membawa senjata, lantas bagaimana caramu akan meruntuhkan tembok besar Taria yang terkenal ‘licin dan penuh duri’ sebelah sana?”

“Aku tidak bisa meruntuhkan tembok Taria, tapi kupastikan jika hari ini dia akan mudah didaki, Bura.”

“Ho. Baik. Bagaimana kau akan melakukannya?”

“Bura, tolong percayakan tombak Anda kepadaku dan gerbang Taria akan terbuka untuk Anda ….”

Saat itu, terus terang diriku agak kaget sekaligus juga penasaran. 

Pemuda itu meminta tombakku sebagai upah di muka dan menjanjikan gerbang Taria akan bisa kuterobos. 

Sungguh arogan, tetapi, aku juga tidak melihat keraguan ketika menatap matanya. Seolah-olah dia betulan punya cara untuk menembus tembok yang selama lima hari terakhir tidak bisa kami apa-apakan dan ….

“Siapa sangka, bocah itu berhasil—segera kirim perintahku ke sayap kanan, ‘Bersiap di posisi!’”

*** 

“Hahaha ….” Tawaku bergaung sepanjang lorong Gerbang Selatan Taria, tawa yang tidak berhenti sampai kaki kudaku menginjak sisi dalam kota dengan tembok terlicin serta penuh duri tersebut. “Aku membayar sebatang tombak untuk ditukar dengan Gerbang Tenggara Tarkaha, benar-benar untung besar.”

Lihat selengkapnya