“Buraaa!”
Hari berikutnya, tanggal dua puluh enam di bulan pertama Musim Semi dan Tahun Baru, kabar yang bikin mata mendelik sama kepala sakit sudah kembali muncul padahal kemarin kami baru menang perang.
Ketika pasukan Matilda Barat dilaporkan berkemah di perbukitan utara dan timur laut Taria.
“Berapa jumlah mereka, Mete?”
“Menurut laporan, sekitar dua puluh ribu, Bura.”
Aku menunduk, memperhatikan peta sama miniatur lanskap sekitaran Taria di meja sambil berpikir.
“Kita punya tiga puluh ribu orang …,” gumamku sebelum tiba-tiba ingat sesuatu, “Roban, kapan pasukan bantuan dari Mantrus datang lagi kemari?”
“Menurut surat balasan tadi pagi, kira-kira dua sampai tiga hari, Bura.”
“Oh.” Aku mengerti. “Berarti kita tidak punya masalah—Mete, datangi setiap distrik dan bilang ke semua Yoram Mantel Putih ….”
Melanjutkan rencana yang sudah kuatur matang tiga tahun lalu, dua ratus ribu prajurit berpanji gorgonku seharusanya sudah dipecah jadi tiga unit dengan tiga peran berbeda sekarang.
Seratus ribu orang pertama tinggal di Vom sebagai pasukan pertahanan Zeta, Hika, juga pagar perbatasan; lima puluh ribu menyeberang bersama penduduk untuk membangun pangkalan di pedalaman Kesik; dan, lima puluh ribu sisanya menjadi bagian pisau yang akan memotong benang suplai pasukan Matilda Barat bersamaku dengan Panji Beruang.
Karena aku sudah mendapatkan kembali Taria, maka unit ketiga yang menunggu di Mantrus secara alami akan bergerak mendekat kemari. Itu juga bunyi surat balasan Jambu tadi pagi ….
“Roban.”
“Ya, Bura?”
“Kirim pelacak ke area ini.” Kutunjuk daerah dekat tembok utara. “Ini, sama ini. Kita tidak tahu apa yang musuh rencanakan, jadi jangan lengah cuma gara-gara kita menemukan posisi kemah kecil mereka.”
“Dimengerti.”
Dua tahun terakhir kami kalah terus gegara ceroboh.
Rencanaku menjepit Panji Beruang di Jalur Benang juga gagal total, dan kami kehilangan keuntungan dari separuh Kolom Dua-Tiga sebagai dampak tambahan selepas kegagalan tersebut. Menyebalkan.
Aku tidak ingin mengulang kebodohan yang sama ….
***
Tahun lalu, di lahan bakal Pangkalan Panji Gorgon, pinggiran Gurun Kesik.
“Tempat ini sudah lebih hijau dan tidak segersang dulu, tapi kenapa namanya masih gurun?”
Jambu, saat itu masih menjabat Caupa Mantel Putih, mengambil dan membukakan kursi lipat.
“Dari sebelum diriku lahir nama tempat ini memang tidak pernah ada kata gurunnya, Yoram. Mungkin Anda salah baca buku,” katanya, mempersilakanku duduk.
Hem. “Terima kasih, mungkin kau benar.”
Sayangnya, bukan aku yang salah baca buku.
Sebab mulai dari sini, melewati Gurun Kuning, hingga ke tembok Parat nan jauh di depan sana, merupakan tanah gersang pada masaku—entah berapa milenium silam. Tidak hijau dan basah macam sekarang.
“Ngomong-ngomong, kemajuan perluasan wilayah kita sudah seberapa jauh bulan ini?”
“Mulai perbatasan Vom di belakang, kita telah berhasil menerobos garis lurus sampai jarak delapan mare ke depan, Yoram.” Jambu lantas menyerahkan gulungan kulit, sejenis peta. “Kita juga sudah menemukan spot bakal pangkalan kedua di selatan Uruq.”