Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #8

Dampak Sebuah Kabar

“Itu rombongan terakhir!”

“Bura—”

“Segel gerbangnyaaa!” pekikku, merespons tanda dari Roban dan para prajurit di menara pengawas.

Yang pagi itu sigap disahut oleh gemerincing rantai ketika gerbang-gerbang Taria ditutup. Duk!

Hari kedua pascaperebutan Gerbang Tenggara Tarkaha. Halbert dan Tombak Terbang kembali kuandalkan untuk mengamankan kota setelah kemarin lusa kami berhasil merebutnya.

Mereka, kukirim ke luar tembok tengah malam tadi untuk satu tugas. “Bura, kami sudah membabat semua kecubung liar dan membakar ladang-ladang di sekitar kota.”

Ingat bagaimana Halbert melemahkan tembok sisi timur kemarin lusa? Nah, tombak terbangnya kukirim keluar tadi malam untuk mencegah musuh menggunakan taktik yang sama. 

“Selain mengandalkan perkakas berat atau memanjat pakai tangga, musuh tidak punya cara lain lagi untuk menembus pertahanan kita.” Begitu kurasa. “Halbert, bawa orang-orangmu ke area kosong di distrik barat terus suruh mereka memereteli semua kecubung ini. Pisahkan daun, batang, bunga, akar, sama buahnya.”

“Baik, Bura.”

“Pame, apa sudah ada balasan dari Bura Bella?”

“Belum, Bura. Kita juga belum dapat balasan dari Bura Parami.”

Cek! Kucekak pinggangku, melihati gerobak dan kuda-kuda Tombak Terbang berhamburan mengangkut kecubung liar menuju Distrik Barat sesuai instruksi.

“Masih ada dua hari sebelum bala bantuan kita datang,” kataku pada Pame dan Renet di sebelah, “sampai saat itu kemah musuh akan terus melebar di seberang tembok utara. Jadi aku akan mengandalkan kalian berdua kali ini ….”

Taksiran awal kekuatan musuh adalah dua puluh ribu orang. Namun, sejak gerakan aneh yang dilaporkan padaku kemarin malam jumlah mereka sudah membeludak sampai satu setengah kali pagi ini dan masih terus bertambah.

Meskipun begitu, berkat tembok Taria yang tinggi mereka jadi tidak asal menyerbu mengandalkan jumlah sama kekuatan kasar. Namun, tekanan akibat kehadiran mereka juga cukup kentara dan signifikan. Cek!

Sial. Benar-benar bikin sakit kepala ….

*** 

Tadi malam, ketika para yoram dan caupa kububarkan setelah rapat dadakan selesai.

“Bura.”

“Kau sudah mengirim pesan ke Bura Bella dan Bura Parami, ‘kan?”

“Sudah.” Pame mengeluarkan secarik kertas. “Ah, ya, Bura. Kita dapat perintah baru dari Bura Julius.”

“Apa katanya?” tanyaku, menerima kertas yang ia sodorkan lalu kubaca, sepintas. “Bukan perin—hem ….”

Kepalaku tersentak pelan dengan mata memicing setelah tahu apa pesan di kertas tersebut.

“Jadi mapu amatir itu tidak mau bergerak kalau Bura Bella belum menyapanya?”

“Seperti yang Anda baca, Bura.”

“Hah ….” Aku berbalik lantas naik dan rebahan di singgasana. “Kursi bate ini gak nyaman diduduki, jujur saja. Cuma, kenapa banyak orang mendambakannya—jangan kaujawab, ini cuma pertanyaan retoris.”

“Jika tidak ada—”

“Pergilah, Pame,” selaku kemudian melambaikan tangan, “kalian sudah bekerja keras hari ini ….”

Lihat selengkapnya