“Mereka belum bergerak juga?”
Tanggal 30 Bulan Pertama, Musim Semi 347 Mirandi.
Kemah pasukan kekaisaran lama seberang Tembok Utara Taria semakin bengkak, ukurannya cukup lebar hingga rimbun pohon dengan hijaunya perbukitan di depan sana kini tidak sanggup lagi menghadang nyala unggun maupun bekasnya ketika malam datang dan pagi menjelang dari jangkauan mata kami.
Pemandangan yang mampu membuatku bersama para prajurit di Taria mulai merasakan angin dingin ….
“Selain pagar kemah yang bertambah panjang, mereka belum melakukan apa pun, Bura.”
Kuusap pipi sampai dagu lantas merapatkan tangan lalu menyulam jari depan bibir, jempol dan telunjukku menjepit dagu ketika mataku memperhatikan barisan pagar yang dikatakan Pame.
Selain panjang, mereka juga berlapis-lapis.
“Bura, pasukan bantuan kita tiba hari ini. Sesuai perintah Anda, Caupa Renet telah mengatur prajurit di Gerbang Selatan, dan para yoram kini sedang bersiap bersama—”
“Kau dengar, ‘kan, Pame?” selaku yang kemudian bangkit, “Roban bilang Renet dengan para yoram sudah pada bersiap untuk pergi, kenapa kau masih di sini?”
“Bura.” Pame meletakkan kepalan tangan di dada kiri, memberi hormat. “Bura Bella bilang kita tak punya celah untuk mengirim pasukan ke barat laut jika Mapu Julius dan Bura Manik tidak segera ….”
Aku tahu. Toh, suratnya juga sudah kubaca.
Bila Bura Julius dan Bura Manik masih terus diam di Koana maka rencana yang kurancang dari tiga tahun lalu ini akan gagal, gak cuma itu, arah aliran massa di selatan juga terpaksa harus kubalik pulang.
Ini berarti Bura Bella juga takkan hanya tinggal diam, bukan? Sebagai mata telingaku harusnya ia pun turut melakukan sesuatu, paling tidak buat mengamankan putra bersama suaminya dari lirikan si mapu amatir.
“Aku mengerti,” balasku, menyentuh bahu Pame. “Setelah sampai Raku, jangan biarkan Bura Julius sama Bura Manik masuk kota. Sebab di sana adalah pertahanan terakhir sekaligus tempat pulang kita. Aku, Bura Bella, Bura Parami, dan kalian semua.”
“Bura.”
“Pergilah ….”
Bulan pertama musim semi ini situasi Bravaria semakin carut-marut, pilar Panji Beruang yang dahulu solid kini keropos, dan muncul polarisasi sejak Bura Julius mendeklarasikan kekaisaran baru dua tahun lalu.
Ya. Aku paham. Ujian semua pemerintahan memang perpecahan.
Bukan hal baru. Kenapa aku mesti kaget ….
***
“Ini bala bantuan yang akan mengawalku?”
Hem. Jambu benar-benar mengirim semua personel Divisi Ketiga Panji Gorgon ke Taria. Sesuai janji.
Di depanku sekarang ada sekitar lima puluh ribu orang pejuang dari Mantrus dan sekitarnya. Berbaris rapi, terlatih, serta siap mendengarkan perintah bura mereka.
Kurasa aku bisa cekak pinggang, lega, hehe.
“Aku senang.” Sebab bersama mereka, juga tanpa adanya Mantel Putih, gerakanku jadi leluasa. “Gerbang Tenggara Tarkaha sekarang menjadi benteng keempat Panji Gorgon, dan kalian adalah tentara yang akan membantuku mempertahankannya ….”
Dengan kekuatan lima puluh ribu orang ditambah perbekalan yang cukup untuk bertahan selama setahun, kami sama sekali tidak perlu melakukan apa-apa selain menutup empat gerbang Taria sampai Bura Julius dan Bura Manik bergerak ke barat daya.
Dan, jika lawan di utara menyerang pun kami cuma tinggal menghujani mereka dengan minyak sama anak-anak panah berapi. Hehe.
“Bura.” Yoram Kepala Paul, komandan legiun pertama di pasukan bala bantuan tersebut, menyodorkan sebuah gulungan berpita merah. “Ini salinan dari rangkuman persebaran orang kita di Vom.”
“Sudah sama petanya sekalian, ‘kan, Paul?”