Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #10

Stagnan

“Hem ….”

Aku benar-benar bosan. 

Dua jam berlalu dan tantanganku belum juga dapat jawaban. Cek! 

Pagi tadi pasukan kekaisaran lama mengibarkan bendera putih setengah tiang, tanda jika mereka takkan menyerang dan cuma mau pasang barisan tanpa benar-benar bertempur hari ini. Setelah itu mereka juga menancapkan bendera merah, isyarat sekaligus tantangan untuk berduel.

Merespons hal tersebut, dengan suka hati aku keluar bersama sepertiga kompi pasukan tameng campur barisan pemanah buat meladeni mereka.

Namun, dua jam berlalu malah kami dibikin bosan menunggu.

“Huh.” Kuhela napas lagi, untuk kesekian kali, sebelum berteriak ke arah mereka. “Hoooi! Jika jadi kalian, aku malu punya panglima seorang pengecuuut!”

“Pengecut.”

“Pengecut.”

“Pengecut.”

Normalnya, seorang panglima perang pantang buat dihina. 

Jadi, semoga sorak-sorai barisan di belakangku bisa memaksa calon lawan agar lekas keluar. Atau, bila pun ternyata ia termasuk orang yang tebal muka dan hari ini keburu selesai, akan kugunakan kejadian di sini buat bahan mengoreng reputasi pasukan kekaisaran lama di pertempuran-pertempuran kami berikutnya. 

Mwehehe ….

“Bura, sepertinya musuh takut menghadapi Anda.”

“Bisa jadi,” jawabku, memarkir kuda menghadap para prajurit pembawa senjata. “Kalau panglima mereka kalah, pasukan kekaisaran lama harus mundur. Dan, jika mereka tidak maju, reputasi mereka tetap hancur gegara kejadian hari ini.”

“Aku yakin mereka tidak mengira jika Andalah yang akan turun langsung buat berduel, Bura,” ucap prajurit yang memegangkan kapak perang, “panglima mereka pasti lagi gemetaran di tendanya.”

“Setuju,” sahut prajurit lain yang memegangkan trisula, “reputasi dewa perang dan rekor duel Anda pasti sudah sampai ke telinga musuh, Bura. Makanya mereka menyesal.”

Aku tersenyum.

“Jika memang benar begitu, harusnya mereka langsung menyerbu dan jangan peduli apa kata orang. Atau, sejak awal diam saja, jangan melakukan apa-apa macam kemarin. Kurasa itu pilihan terbaik,” pendapatku, “cuma, nasi sudah jadi bubur juga, ‘kan?”

“Mereka pasti merencanakan sesuatu, Bura,” timpal prajurit dengan busur dan tabung panah.

Yang sontak membuatku ingat sesuatu. “Eh! Suruh seseorang menemui Halbert. Bilang sama dia ….”

Merencanakan sesuatu, ya? 

Hem. Kalau begitu diriku juga tidak akan menunggu. Perang memang arena adu muslihat, taktik, termasuk dengan segala bentuk langkah penipuan.

Jadi, kenapa dari tadi aku diam saja?

*** 

Satu setengah tahun lalu ….

Lihat selengkapnya