“Bura.”
“Apa ada berita baru?” Kutengok area lapang seberang gerbang utara di bawah sana sekilas, memeriksa apakah bendera merah tanda tantangan duel masih berkibar atau tidak. “Hem …, aku masih makan, kalau atasanmu yang suruh kemari bilang sama dia aku ke aula istana nanti habis makan siang.”
“Ah, bukan, Bura.” Prajurit yang berdiri dekat meja makanku mengeluarkan sesuatu, macam robekan kain, dari pinggang lalu mengasongkannya. “Caupa Roban titip pesan. Katanya, ‘Tombak Anda hilang.’”
“Oh.” Sudut bibir kananku naik. “Aku mengerti. Tolong taruh benda itu di meja dan kau boleh pergi, terima kasih—ah, ya! Kalau kau kembali ke gerbang timur, sekalian lewat tolong bilang sama prajurit di gudang aku butuh banyak panah buat menara kiri ….”
Masih kepikiran soal nama-nama yang Bura Parami berikan, caraku melihat lawan di seberang kini sedikit berubah. Apalagi setelah sikap panglima mereka waktu menanggapi tantanganku.
Aku curiga. Atau, mungkin lebih ke waswas kalau boleh jujur.
Bukan cuma gerakan yang aneh, aliran logistik di belakang kemah mereka, sama keputusan buat menunda perang dan mengadakan duel hari ini saja, melainkan semua pengaturan pasukan kekaisaran lama secara keseluruhan sejak awal sudah tidak mudah diterima pakai nalar biasa.
Aku seperti menghadapi orang gila ketimbang ahli strategi handal di pihak mereka ….
***
Bet—Pong!
“Buraaa!”
Bet—pong!
“Bura, lapor!”
“Kau gak lihat aku lagi sibuk, hah?” timpalku, mencoba abai pada prajurit yang baru saja datang. “Katakan ada apa terus cepat kembali ke posmu, sana.”
“Bu-bura! Telik sandi kita bilang, Bura Julius baru saja keluar dari Ibu Kota Ratnar dan sekarang sedang bergerak mendekati Logos.”
“Oh.” Kujeda kegiatan, menembakkan panah ke arah kemah lawan di seberang, dengar laporan tersebut kemudian balik badan dan tanya, “Berapa pasukan yang dia bawa?”
“Seratus ribu.”
“Hem.” Berarti dua pertiga dari sisa tentara Bravaria di luar tiga mantel. “Apa lagi laporan yang kaubawa?”
“Para Yoram menunggu Anda di Aula Istana Bate, Bura.”
“Baiklah.” Aku menoleh ke kanan. “Stella, Ranra. Kalian ikut aku ke aula.”
“Eh?!” Keduanya terbelalak, kompak.
Dan, jelas sekali keduanya sedang ragu. “Ma-maaf, Bura.”
“Bisakah kau jangan banyak tanya, Ranra?”
“Ta-tapi, Bura. Bukankah aula istana itu tempat para perwira tinggi membahas strategi, ya?”
“Benar,” jawabku cepat, aku lekas memberikan busurku kepada prajurit pembawa pesan tadi lalu berjalan ke arah tangga. “Kalian berdua asistenku, ‘kan, jadi jangan banyak tanya lagi dan cepat ambil kepet-kepet di meja sana. Kita pergi sekarang ….”
Sesaat kemudian, di Aula Istana Bate Taria.
“Bura.”
“Bura.”
“Dua orang ini asisten baru. Jangan takuti mereka!” ujarku, menepis tatapan sinis para yoram dan caupa di ruangan pada dua asisten di belakangku. “Aku sudah di sini, bisa kita mulai rapatnya sekarang?”