“Lihat, hari ini turun hujan—”
“Apa ada yang bilang hujan?” pekikku, buru-buru melongok ke luar tenda. Memastikan jika cuaca hari ini masih secerah tadi pagi.
Sialnya. “Akh!” Aku melompat kembali ke dalam tenda lekas menyambar semua barang, merapikannya di tas, lalu cepat-cepat keluar. “Semua, cepat kemasi barang-barang. Kita kembali ke Taria—sekaraaang!”
Tanggal 21 Bulan Tiga, Musim Semi 347 Mirandi.
Cuaca yang tadi pagi cerah kini berubah mendung, berawan, gelap, juga disertai rintik-rintik. Padahal tidak ada tanda bahwa hari ini akan turun hujan.
Benar-benar tidak terduga. Membuatku yang biasanya cakap dalam membaca suasana hati alam, terpaksa harus mengaku gagal dan segera menggulung tenda, memanggil Edward kembali, lekas membawa semua orang lari ke Taria secepat yang kuda kami bisa.
Dan, jika hal ini terjadi itu hanya berarti satu hal.
“Sudah mulai ….”
“Apa yang mulai, Bura?”
Aku menoleh, menjuling lama pada Stella, sekaligus coba menerawang apakah wajah yang lagi kutatap ini benar-benar bertanya karena tidak tahu ataukah hanya sekadar basa-basi.
Bukannya apa-apa. Aku sudah membagikan rencanaku kepada semua orang. Tidak terlalu detail memang, tetapi itu seharusnya cukup untuk membuat mereka tidak lagi menanyakan apa pun bila cuaca atau siklus alam Eldhera tiba-tiba tidak terbaca.
Dan, sekarang, kenapa gadis rambut pirang dengan zirah pelat baja sebelahku masih juga tanya?
“Kau serius, Stella?”
Cuma, matanya benar-benar bening. Ia betulan tidak tahu.
“Hah ….” Kuhela napas lalu memalingkan muka. “Kalau cuaca tiba-tiba tidak menentu dan turun hujan di hari yang seharusnya cerah itu artinya Benua Kecil telah rampung dijelajahi.”
Apa boleh buat, aku akan menjelaskannya lagi.
“Pahlawan dengan penyintas dunia lain akan segera pulang ke Eldhera, Stella.”
“Benarkah, Bura?” Suara gadis itu terdengar senang. “Itu kabar bagus—adaw!”
“Bagus buatmu!” sambung Ranra, usai menoyor helm Stella pakai buntut anak panah. “Kalau pahlawan sama penyintas kembali, kita harus siap menghadapi kekuatan tiga benua. Bodoh.”
“Hei!” Stella menjerit. “Aku tahu, makanya kubilang bagus.”
Ekspresiku dan Ranra ketika itu sama, sama-sama heran dan gak habis pikir. Kenapa gadis ini malah senang dengar kepulangan lawan terberat kami.
“Kau gak salah, Stella?”
“Tidak, Bura.” Gadis itu tersenyum riang. “Bukankah jika pahlawan dan penyintas pulang, rencana besar kita untuk menguasai dunia akan segera terwujud.”
Kepalaku dan Ranra spontan agak menjauhi Stella sambil menoleh dengan lirikan heran.
“Maksudku, Anda dan bura-bura lain pasti akan segera menyelesaikan perang ini, bukan?” Stella menatap optimis ke depan, abai pada reaksiku ataupun sahabatnya di sebelah. “Aku yakin, kalau pahlawan dengan penyintas kembali, Bravaria akan buru-buru menyerbu Matilda Barat. Soalnya jika tidak begitu, kita pasti bakal dijepit dari arah depan sama belakang.”
Aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana, tapi dia benar.