Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #16

Hari Libur

“Kita pulaaang!”

Awal Musim Panas 350 Mirandi, setahun sejak ‘hujan abadi’ di Kolom Dua-Tiga berhenti dan kabar tentang gugurnya Bura Bella dengan wabah di Seren menyebar.

Aku bersama separuh Divisi Ketiga Panji Gorgon bertolak dari Taria, Gerbang Tenggara Tarkaha yang kini berganti nama menjadi Gerbang Telaga Mapute, hendak kembali ke Mantrus. Ibu Kota Ekonomi Kerajaan Vom. Wilayah yang kuterima sebagai daerah ‘pengawasan’ sejak Kekaisaran Baru Bravaria berdiri.

“Bura.”

Aku menoleh, merespons panggilan Stella. “Ah?!”

“Anda serius kita sudah boleh pulang ke Mantrus?”

Stella, asistenku, kala itu menatap dengan mata bulat penuh dan pipi kembung bak balon mau meletus.

“Kenapa wajahmu begitu?” tanyaku, bergidik usai spontan membuat jarak. Agak menjauh darinya yang kian condong ke arahku. “Jauhan dikit, sana. Kau bikin aku takut, tahu. Stella!”

“Bura, dia tadi makan ikan buntal sama sate bajing pas sarapan,” celetuk Ranra, asistenku yang lain, dari belakang kuda kami. “Itu kenapa pipinya jadi kembung macam kena sengat le—”

“Sembarangan!” sergah gadis rambut pirang yang pipinya mendadak sudah balik normal sebelahku. “Aku tidak keracunan apa-apa, ya. Sarapanku juga bukan ikan buntal sama daging bajing, weee ….”

“Huh ….” Aku capek. Kujulingkan mata sambil menegadah sejenak.

Berpikir. Setelah tahun-tahun melelahkan di bawah tekanan Matilda, ancaman siklus alam Eldhera, wabah dan penyakit, sama sederet masalah remeh yang bermunculan satu per satu. Kenapa diriku masih merasa ada hal janggal padahal semuanya baru saja selesai?

Vom dan Panji Gorgon berhasil menjadi basis militer pribadiku, lumbung sama gudang-gudang kami stabil dengan sumber daya mumpuni, tetapi mengapa dadaku masih berdebar macam ada sesuatu yang luput.

Bahkan kepulangan bersama separuh divisi ketiga hari ini. “Kenapa kepalaku belum berhenti berdenyut?”

“Anda tidak apa-apa, Bura?”

“Kepalaku masih migrain—kenapa kau malah tertawa, Stella?”

“Anda lucu, Bura.” Asistenku itu lanjut cekikikan sendiri. “Seperti perempuan.”

“Perempuan?”

“Abaikan omongan si pirang, Bura.”

“Hei!” jerit Stella, lagi, memperlambat kuda terus mengitariku. “Kau bilang apa tadi, Mata Ngantuk?”

“Apa, hah?” sahut Ranra, gak kalah ngotot meladeni sahabatnya.

Hem. Abaikan dua sistenku yang lagi ribut, keduanya sehari-hari memang seperti itu. Mustahil salah satu atau dua-duanya mau senyap kalau bukan di situasi formal sama ruang rapat ….

*** 

Lihat selengkapnya