“Pagi, Bura.”
“Ah!” Spontan aku balik badan, tersenyum, lantas melambaikan tangan. Membalas sapaan tetangga yang kebetulan lewat. “Pagi—rapi banget, mau pada ke mana, Ibu-Ibu?”
“Eh?!”
“Anda ini bagaimana, Bura. Sekarang kan tanggal dua belas.”
“Benar. Jangan bilang Anda juga tidak akan hadir di Festival Lampion Pu Ratu nanti malam, Bura.”
“Oh ….” Aku lupa. Penduduk Vom punya banyak tanggal besar di kalender, salah satunya Festival Lampion Pu Ratu yang dipersembahkan untuk mengenang jasa-jasa para penguasa terdahulu. “Aku baru ingat.”
“Yah.”
“Bura, sebaiknya libur dulu main kudanya.”
“Betul. Khusus hari ini, Anda dengan Bate harus tampil gagah pas memimpin acara nanti sore.”
“Haha.” Apa boleh buat, senyum dulu, deh. “Baiklah-baiklah. Aku akan menyusul setelah mengandangkan si Polka. Biar kukunci jendela sama pintu dulu.”
“Benar, ya, Bura.”
“Awas kalau sampai tidak hadir.”
“Betul. Akan kubawa ibu-ibu semua distrik kemari jika nanti siang Anda belum muncul di alun-alun.”
Aku garuk pipi meladeni para ibu-ibu ini.
“Tenang saja, aku akan segera menyusul, kok ….”
Festival Lampion Pu Ratu. Perayaan dua tahun sekali setiap hari kedua belas di Musim Dingin. Acara yang diselenggarakan pertama kali pada masa Bate Soraya sebagai penghormatan kepada ayahanda beliau, Pu Ratu, atas jasa-jasanya yang luar biasa dua puluh delapan tahun silam.
“Kau dengar apa kata ibu-ibu tadi, ‘kan, Polka?”
Kusisir surai kudaku lalu menepuk dan memijat tengkuknya dua kali.
“Ayo balik kandang ….”
***
“Anda datang, Bura?”
Aku nyengir menyambut tangan Bate Mantrus pas ia menghampiriku di tangga istana belakang alun-alun. “Salam, Bate. Anda sungguh dermawan, panggung di sana benar-benar megah.”
“Salam, Bura. Ohoho, terima kasih. Semua orang membangunnya bersama, bukan cuma olehku.”
“Ah ….” Kugerak-gerakkan telunjukku gembira. “Anda merendah.”
“Haha. Mari-mari—eh, ya, Bura. Minggu lalu aku ke tempat Anda, sayang di sana tidak ada siapa-siapa.”
‘Minggu lalu?’ batinku, memperhatikan wajah raja kota sebelahku. “Ah, minggu kemarin, ya?”
“Ya. Minggu kemarin.” Pria jangkung itu merangkul punggungku. “Pelayanku bolak-balik mengetuk pintu belakang bahkan sampai ke kandang ternak, tapi mereka bilang tidak ada siapa pun di rumah Anda.”
‘Jelas gak bakal ada siapa-siapa, wong aku masih di Gerbang Naga minggu kemarin.’
“Aku punya surat untuk Anda, Bura.”