Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #18

Darurat Perang dan Perjalanan ke Parat

“Bagaimana?”

Ranra menggeleng waktu kutanya pas kembali dari gerbang Pluma, Ibu Kota Kerajaan Pluma, Kolom Satu-Tiga Benua Barat. “Katanya mereka tidak bisa membuka gerbang untuk kita.”

“Alasannya?” sambar Stella, tubuhnya ia condongkan ke depan. “Mereka gak tahu kita dari Vom, ‘kan?”

“Bukan itu, Stella.” Ranra menoleh ke arah Pluma sebentar sebelum lanjut menjelaskan. “Mereka bilang, Mapu memberlakukan Darurat Perang. Gerbang kota takkan dibuka kecuali buat penduduk atau orang-orang lokal saja, begitu.”

Hem. Aku paham. 

Rupanya ini alasan Mapu Varujin memintaku agar cepat-cepat datang ke Parat begitu mahar siap.

“Huh.” Satu sudut bibirku naik. “Karena ingin cepat sampai, kita mengurangi bekal lalu menggantungkan logistik ke kota-kota di perjalanan. Namun, berkat aturan Darurat Perang sama syarat pantang putar balik selepas perbatasan yang kusepakati sebelum pergi, rasa lapar secara alami akan menjadi musuh kita.”

“Bura?”

“Mapu Varujin benar-benar cerdik. Stella, kau harus belajar dari kecermatannya ….”

Aku benar-benar tidak bisa tahan tawa. 

Jelas-jelas statusku dengan mereka sekarang masih lawan perang, betapa mudahnya kuturunkan waspada cuma gegara dapat ‘kabar baik’ lewat undangan berisi janji nikah. Benar-benar naif.

“Apa yang akan kita lakukan, Bura?”

“Gak ada.” Kuangkat bahu lalu mengentak kuda pelan melewati Ranra. “Teruskan sesuai rencana, Utusan Henrique di sini sebagai saksi jika diriku sama sekali tidak berniat untuk mundur. Benar begitu, ‘kan?”

Henrique el Parana, Utusan Mapu Varujin, pria necis kumis baplang yang secara khusus disiapkan sebagai ‘pemandu’ perjalananku hingga Ibu Kota Matilda Barat—atau harus kupanggil, anjing pengawasnya Mapu.

Lihat bagaimana ia tidak terpengaruh padahal rombonganku gak bisa membeli bekal perjalanan di Pluma.

“Benar, Tuan Ure. Saya di sini sebagai pemandu Anda dan rombongan.” Air mukanya benar-benar tenang, sama sekali tidak beriak maupun menampakkan rasa cemas. “Akan tetapi, saya pun sebetulnya baru tahu bila Mapu memberlakukan Darurat Perang serta melarang orang luar memasuki kota.”

“Gak apa-apa, Henrique.” Kuputar kudaku, siap lanjut ke pemberhentian berikutnya. “Aku tidak sedang menyalahkanmu atau apa pun. Semua, kita lanjutkan perjalanan ….”

Rombonganku menghadapi masalah pertama seminggu selepas bertolak dari Zeta, Ibu Kota Pemerintahan Vom. Kami tidak diizinkan memasuki Pluma serta tidak bisa membeli bekal tambahan.

Hal yang, sebetulnya, lambat laun menjadi lumrah pada perjalanan kami hingga ibu kota kekaisaran lama.

Apalagi ketika rombongan semakin masuk ke wilayah Matilda Barat.

“Ini kerajaan kedua dan kita tetap ditolak penjaga gerbang kota pas mau isi bekal.”

“Bura?”

“Gak apa-apa!” Kuangkat tangan tinggi-tinggi. “Kita sudah cukup istirahat, teruskan perjalanaaan ….”

Sudah kuduga perjalanan ke Parat takkan pernah semulus iming-iming di Surat Mapu Varujin.

Mengingat bagaimana situasi politik Matilda Barat dengan Bravaria, aku maklum bila ia menggunakan ini sebagai siasat buat melempar dua burung pakai satu batu. Toh, semua orang sudah bisa menebaknya. 

Lihat selengkapnya