Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #19

Segel Kekaisaran Baru

“Tuan Ure, tolong senyum. Ini hari besar Anda ….”

Tangan Henrique bolak balik merapikan mantel sama serban, yang sebetulnya sudah sangat rapi, di bahu juga kepalaku setiap kali matanya melirik ke kiri. Percayalah, hal itu sudah ia lakukan sejak kami baru saja tiba lalu disuruh menunggu di depan pintu Aula Istana Mapu—satu jam sebelumnya.

Dia bilang, alasan kenapa tangannya bolak balik kepala-pundakku tiap menit itu karena aku harus tampil sesempurna mungkin ketika menghadap sang empunya tempat saat nanti kami di dalam.

Perfeksionis. 

Begitu kesan yang kudapat dari si utusan hari ini, tanggal 14 Bulan Satu 351 Mirandi, waktu di mana Mapu Varujin akhirnya bersedia membukakan pintu serta meluangkan diri buat menjamuku bersama sebagian rombongan di kediamannya. Istana Kekaisaran Matilda Barat.

“Hah ….” Jujur aku rada kecewa. 

Bukan lantaran suasana istana tambah tetek bengek di sini terkesan biasa-biasa setelah semua kesulitan yang kulalui sepanjang jalan kemari. Bukan, sungguh bukan karena itu!

Akan tetapi, yang membuatku kecewa adalah sikap sang empunya tempat tiga hari lalu.

Ya. Tiga hari lalu. 

Saat diriku dengan rombongan baru saja tiba di depan Gerbang Ibu Kota Kekaisaran Matilda Barat, Parat, untuk pertama kali. “Setelah sekian lama ….”

“Woaaa—Bura, sekelas ibu kota kekaisaran memang beda, ya?”

“Woi, Stella. Munduran dikit—”

“Berisik, ah!” sergah asisten sebelahku, menoleh sahabatnya, Ranra, sambil lanjut memaju-mundurkan kuda. “Bura, kapan kita akan masuk?”

Kulihati dirinya dalam diam dengan kepala miring agak lama.

“Kau gak sabar, Stella?”

“Tentu saja!” sahutnya, cepat macam kilat tambah mata bulat cemerlang. “Bura, sebulan ini kita memutari gunung, melewati lembah, terus menyeberangi dua sungai buat sampai kemari. Masa Anda tidak antusias, aaah—adalah sedikit, pasti. Ya, kan, ya, kan?”

Cek! Kututup mukaku sambil menggeleng sehabis lihat tingkah gadis itu. Geli sendiri.

“Ya, ya, sudah-sudah.” Kukeluarkan undangan Mapu Varujin biar dia gak terus begitu. “Nih, bawa ini terus temui penjaga, sana—”

“Siaaap!” pekiknya panjang usai menyambar kertas di tanganku. “Aku akan segera kembaliii ….”

Sebetulnya, bukan hanya Stella, aku juga sudah tidak sabar ingin buru-buru melihat Nazila Trira dari dekat. 

Dadaku berdebar-debar tahu aku berdiri di depan gerbang rumahnya, debar yang teramat kencang kalau boleh kubilang. Maklum, selama ini diriku cuma menatapi sang putri dari depan selembar kanvas.

Jikalau harus kuakui. Kala itu pikiran dengan hatiku silih sahut. Meski tidak tampak dari luar, di dalam sana ada gejolak nan membara. Hasrat ingin memiliki yang beberapa kali bikin sakit kepala ….

“Anda tidak apa-apa, Bura?”

“Hah?” Aku menoleh ditegur Ranra. “Kenapa? Kenapa?”

Lihat selengkapnya