“Hahaha!”
Keras. Keras sekali. Tawa yang benar-benar keras ….
Hari ini, tanggal 14 di bulan pertama 351 Mirandi, saat di mana diriku berjumpa dengan Mapu Varujin.
“Hahaha, jadi ini pria yang ingin meminang putriku?”
‘Huh.’ Aku tahu. ‘Setelah semua rasa hormat dan ketulusan yang rombongan persembahkan, ini memang akhir terbaik dari semua skenario serta sandiwara kami ….’
Senyum di bibirku juga mekar hanya setelah tawa keras sang mapu bergaung ke sudut-sudut aula istana.
Tatapan sinis yang mengiringi langkah rombongan tatkala menginjak lantai istana, rasa risih orang-orang sekitar, tambah wajah gelisah milik wanita di belakang singgasana sana. Sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa kehadiran kami sebetulnya berada di luar dari harapan sang empunya tempat.
Jadi buat apa ragu-ragu?
“Utusan Henrique telah mengenalkan siapa diriku, menyanjung-nyanjung diri Anda sepanjang perjalanan kemari, serta mengatur pertemuan ini.” Ya, kenapa aku ragu. “Siapa sangka …, benar, siapa sangka. Peti-peti hantaran yang rombonganku persembahkan sebagai mahar tidak sanggup melunakkan hati sang trira di belakang sana.”
“Tidak perlu melibatkan putriku lebih jauh. Dirinya di sini hanya sebagai penonton.”
“Maksud Anda, Mapu?”
“Sejak zaman nenek moyang, tidak ada sejarahnya seorang Miria dekat dengan penguasa. Meski menjadi klan kuat di masa lalu, sifat kalian yang angkuh telah membawa keluargamu pada kehancuran, bukan?”
Aku tidak tahu kenapa dia mengatakan itu.
“Sejauh yang dapat kuingat, hal itu pulalah penyebab kalian mengasingkan diri dari dunia luar.”
‘Menasingkan diri?’ Aku ingin ketawa dengar omongannya. “Jika diriku boleh bertanya ….”
Aku menoleh Halbert lalu berjalan ke sebelahnya dan duduk, di atas tutup salah satu peti hantaran.
“Sejak kapan keluargaku mengasingkan diri dari dunia luar, Mapu?”
“Lancang!”
“Sungguh lancang, Mapu sedang bicara kepadamu. Berani sekali kau duduk di—”
“Kakiku pegal!” jeritku, membalas hujatan mereka-mereka yang entah siapa. “Halbert, suruh orang-orang kita duduk juga. Gak perlu jaim di sini.”
“A-anda yakin, Bura?”
“Kita sudah berdiri di depan pintu tadi selama satu jam,” kataku, menunjuk ke belakang pakai jempol dan menoleh rombongan di kanan-kiriku sekilas. “Terus juga, tuan rumah mana mungkin mendadak jadi peka apalagi sampai memberi kita kursi bu—”
“Kau pikir dirimu diterima di sini, Wahai Keturunan Miria?”
Aku geli Mapu Varujin memanggilku begitu.
“Mapu, jika Anda tak keberatan, tolong panggil saja aku Ure. Menyebut nama keluargaku tanpa tahu siapa kami terdengar agak-agak ….”
“Apakah engkau malu?”