Dua minggu sebelumnya ….
“Inikah Duati?” Ketika mataku sempat dibikin terpana pas melirik gerbang kota yang jadi pemberhentian rombongan sebelum tiba di Ibu Kota Kekaisaran Matilda Barat. “Kalau tebakanku benar, mulai titik ini, jika kita terus berjalan ke arah timur rombongan akan sampai ke Gurun Kuning. Ya, ‘kan?”
Atau, bila harus jujur, mataku tertarik pada formasi tempat ini yang saling sokong dengan tiga kota lain di tenggara, timur, dan timur laut. Yend, Gurun Kuning, serta ibu kota kekaisaran mereka, Parat.
Posisi ketiganya membentuk belah ketupat saling silang. Jika salah satu dalam bahaya, maka yang lain bisa langsung membantu dan mengirimkan bantuan.
Formasi yang sungguh bagus.
“Bura. Kalau kemarin kita tidak mengambil jalur kiri di persimpangan setelah Kota Yend, aku yakin hari ini rombongan pasti sudah sampai di Ibu Kota Parat.”
“Tidak ada yang minta pendapatmu, Stella.”
“Brisik!” sergah gadis rambut pirang sebelahku. “Aku juga enggak ngomong sama kau, Sipit.”
“Apa kau bilang?”
“Apa?!”
Lupakan mereka berdua.
Perhatianku masih tertuju pada gerbang besar di hadapan kami.
Kepala hewan bertanduk sejenis rusa di atas bingkai pintu sana bukan sekadar pajangan.
Pasangan delima yang jadi matanya adalah inti monster, duri-duri berlapis emas di sekitar papan tempat ia diletakkan juga punya pancaran mana. Jelas gerbang ini mustahil buat didobrak pakai pelantak biasa.
“Apa Anda memikirkan sesuatu, Tuan Ure?”
“Henrique.” Aku menoleh ke kiri lantas tanya, “Anda yakin kota ini juga tidak akan menerima kita?”
“Hahaha.” Jawaban yang kudapat ialah, “Anda sungguh jeli. Kurasa kita bisa membeli bekal di sini ….”
Merespons si utusan, seseorang dari kelompoknya melewati kami lalu mengetuk gerbang dan memanggil penjaga. Anehnya, pintu Duati pun terbuka beberapa saat kemudian.
***
“Mapu, sepertinya ….”
Masih kuingat secerah apa senyum orang-orang Duati pada waktu itu.
Berbanding seratus delapan puluh derajat sama muka masam mereka yang lagi berjejer di kanan dan kiri singgasana mapu saat ini.
Benar-benar jauh.
“Aku tidak meragukan keluargamu, Ure.”
Bahkan dengan si empunya negara sendiri, Mapu Varujin.
“Sayangnya aku tidak bisa menerima seorang kriminal di keluargaku.”
“Ma-maksudnya?” Mataku mendelik dengar omongan orang nomor satu di Matilda Barat tersebut, sama sekali tidak paham. “Boleh Anda jelaskan apa yang—”
“Kudengar dirimu tidak sungkan untuk membeli teman bermalam. Bukan hanya satu, tetapi tiga sekaligus. Kabarnya, kau bahkan menghambur-hamburkan uang sepanjang perjalanan sebelum sampai kemari ….”
Sulit kuterka arti tatapan Mapu ketika itu.
“Ketahuilah, Wahai Ure. Putriku datang dari keluarga terpandang. Dirinya tidak pantas untukmu, seorang playboy rendahan.”
Hem. Kenapa pas dengar ocehannya aku tidak merasa tersinggung?