“Bukankah ini kesempatan terbaik?”
Bagus. Bagus sekali. Benar-benar bagus.
Setelah perjalanan melelahkan selama sebulan penuh di musim dingin sama satu setengah minggu musim semi, Mapu Varujin akhirnya menunjukkan wajah aslinya.
Sayang sekali ia harus menjadi ayah Nazila Trira ….
“Kekalahan di Gerbang Raku, kekaisaran baru di tanah kita, dan pasukan yang hilang di garis depan selama Hujan Abadi.” Pria tua itu bangkit dari singgasana. “Kapan lagi kesempatan seperti ini akan muncul?”
Merespons ucapannya. Hadirin di kanan kiri rombongan kemudian menghunus pedang, mengepung kami bak kawanan burung dalam sangkar.
“Hem.” Membuatku spontan mengangguk-anggukkan kepala. “Kupikir atasanmu tidak sepenuhnya salah, Lamda,” kataku usai melihat sekeliling, “dengan menangkapku hidup-hidup, kalian jadi punya daya tawar buat negosi—”
“Siapa yang ingin bernegosiasi dengan para perampok, hah?” teriak salah seorang dari baris kanan.
Yang langsung disahut seseorang di baris kiri, “Benar, kami tidak perlu membiarkan kalian hidup.”
Aku benar-benar ingin ketawa saat itu, sayang ini bukan waktu yang tepat.
“Mapu, biar kutebak langkah Anda setelah berhasil memancingku ke aula istana ini dan nasib malang apa yang akan menimpa sisa rombongan kami di kemah seberang tembok barat daya.”
Semua orang silih lirik, jelas sekali bahwa mereka meremehkanku yang sedang tersudut.
“Jika diriku benar …, Lamda, kau akan terlambat kalau terus menungguiku dan mereka di sini.”
“Apa maksud—ah, kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal, Sialan?!” Sobat karibku itu melesat tanpa ba-bi-bu, bahkan Mapu Varujin sampai membeku terheran di posisinya. “Tunggu saja, aku akan membuat perhitungan denganmu setelah semua ini selesaaai. Kau dengaaar, Ure!”
“Tidak perluuu!” jawabku, melambai pada Lamda. “Perjanjianku dengan kalian selesai tahun lalu ….”
Ya, perjanjian antara kami pascaduel di seberang Tembok Barat Raku beberapa tahun silam.
“Apa maksudnya, ‘perjanjian dengan kalian?’”
“Ah, Mapu ….” Aku balik kepada orang nomor satu di Matilda Barat. “Mungkin Anda tidak tahu, jelas Anda tidak tahu. Kami, antara aku dan bura dandelion Anda barusan, telah membuat sebuah perjanjian.”
Kurentangkan tangan kananku ke arah Nazila Trira di belakang singgasana ayahnya.
“Tahun itu, Lamda atau orang yang Anda panggil Bura Dandelion tadi, berjanji untuk mengatur pertemuan antara diriku dengan seorang wanita dari selembar kanvas. Putri Anda, Nazila Trira.
Sebagai gantinya, seluruh Nimaria dan sisa-sisa keluarga bangsawan di bekas wilayah Matilda Barat tidak akan kuapa-apakan—”
“Mustahil!”
“Benar,” sahutku, menimpali sanggahan keras tersebut. “Memang mustahil menjaga keluarga istana dan menghindarkan mereka dari endusan para pemberontak, tapi bukan berarti kami tidak punya cara.”
“Yang Mulia.” Seseorang mendekati Mapu. “Kurasa orang ini hanya sedang mengulur waktu.”
“Benar, Yang Mulia.”
“Mohon segera perintahkan kami untuk meringkus mereka.”