Sebelum berangkat ke Ibu Kota Parat, pesanku pada Jambu adalah agar ia mengirim delegasi dan bersiap di sekitar perbatasan Pluma jika musim semi ini rombongan berhenti mengirim merpati ke Zeta.
“Anda tahu, Mapu. Aku tidak menerbangkan merpati tanggal sepuluh kemarin. Jika menghitung tanggal hari ini, seharusnya delegasi-delegasi yang kumaksud sudah tiba di perbatasan Pluma.”
Aku lantas menghampiri sang kepala negara dan bertanya.
“Anda tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ‘kan?”
Entah gegara kaget atau apa, ia buru-buru menghunus pedang dan menodongku.
“Omong kosong!”
“Anda boleh percaya, boleh juga tidak ….” Kugeser ujung pedangnya menjauh dari mukaku. “Akan tetapi, Mapu, kusarankan agar Anda ke depannya lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.”
Kugerakkan kepalaku, isyarat pada Halbert dengan yang lain.
“Apa yang kalian lakukan?”
“Hei, berhenti!”
“Berhenti di sana!”
“Kenapa, Mapu?” Aku semakin mendekat ke ayah Nazila Trira. “Orang-orangku hanya sedang bersiap buat pulang. Toh, Anda tidak menerima kami, bukan—”
“Ah!” teriak Nazila Trira, tepat setelah ayunan pedang ayahnya berhasil kutepis. “Ayahandaaa!”
Kuacungkan tanganku, meminta agar gadis itu tetap tenang.
“Le-lepaskan ayahanda!”
“Trira.” Aku tersenyum. “Mapu hanya kutodong balik, Anda tidak perlu sehisteris barusan ….”
Setelah mendudukkan sang kepala negara di singgasana, kulihat persiapan Halbert dengan yang lain juga telah selesai. Mereka sudah menyegel semua peti dan siap buat pergi.
“Bura.”
“Sesuai rencana, Halbert.”
Begitu tanganku melambai, ia dan rombongan berlalu tanpa seorang pun berani menghalangi.
“Sekarang ….” Aku menoleh ke Mapu Varujin. “Sisa Anda dan orang-orang yang katanya kaum bangsawan di negara ini. Bagaimana kalian akan membujukku?”
“Huh.” Tawananku mendengkus. “Beraninya orang rendahan sepertimu menyanderaku di singgasanaku sendiri. Bahkan di depan putriku, trira yang amat dicintai rakyat Matilda Barat.”
“Terus?” tanyaku ketus. “Apa masalahnya? Toh, aku kemari buat melamar. Sikap Anda saja yang membuat kalian dalam situasi ini, ‘kan?”
Suasana mendadak senyap, selama dua detik diriku dan orang-orang cuma silih lihat.
“Ah, ya! Kenapa tidak tukar Trira untuk keselamatan Anda, Mapu?”
“Putriku, dirinya tidak akan ikut denganmu apa pun yang terjadi.”
“Benarkah?” Kujauhkan mata pedang dari leher sang empunya singgasana. “Coba lihat dulu ke belakang.”