“Pagi semua ….”
Tanggal 5 Bulan Tiga, Musim Semi 352 Mirandi.
Kegiatan Sisik Kayu, kelompok dagang baruku, berjalan sebagaimana biasanya kami beroperasi. Tiga ratus lebih personel bangun pagi, menyalakan tungku, menata lapak lantas melakukan tugas sesuai jadwal dan bagian masing-masing.
Sangat natural, seolah kami benar-benar kelompok dagang sejati.
“Pagi, Tuan Mi.”
“Tuan Mi.”
“Oi, Stella.” Kecuali satu hal. “Kenapa kau di sini, bukannya—”
“Dia menemaniku, Tuan Mi,” timpal suara dari belakang, menjawabkan buat Stella.
Suara yang sontak membuatku gugup. “A-anda di sini, Tri—ah, haha. Nona Nima ….”
Hampir saja keceplosan.
“Nona Nimanina, kapan Anda datang ke pabrik?” lanjutku, menyambut Nazila Trira yang gak biasanya mau keluar ruangan. “Kenapa tidak mengabari saya dulu, Nona?”
“Aku tidak suka nama yang kau berikan, Ure,” bisik sang trira sebelum berkata, “Tuan Mi, pabrik arang ini punya keluargaku, bukan? Kenapa aku harus melaporkan kunjunganku kepadamu ….”
Menyebalkan, tapi ini masih lebih baik ketimbang ia mengurung diri di kamar sambil terus mengutukku.
“Ahaha.” Jadi, apa boleh buat. “Anda bercanda, Nona. Sebelum kita pindah kemari Ayah Anda menitipkan Nona kepada saya, bagaimanapun saya akan menghadap beliau nanti.”
‘Aku tahu ….’ Lirikan Nazila Trira memang agak lain. ‘Kita lihat apa sebenarnya yang mau Putri Kerajaan Parat di depanku ini lakukan.’
“Tuan Mi, mari bicarakan bisnis kita sambil sarapan.”
Eh? Tumben.
Aku gak tahu kenapa, tetapi Trira yang berbalik kemudian menoleh sebelum beranjak dari gerbang pabrik arang seolah mempertegas ajakan barusan agar diriku lekas ikut beliau.
“Kudengar restoran kita punya menu baru, bisakah kau memesankannya untukku—”
“Ah!” Terpaksa, daripada kikuk mending ikuti saja. “Aku akan memberi tahu orang dapur sekarang ….”
***
“Trira, sudah tidak ada orang di sekitar. Anda boleh berhenti pura-pura—”
“Kenapa?” sambar sang putri, melihatku dengan tatapan serupa kami di pabrik sesaat lalu. “Kau tidak suka didominasi seorang wanita, hah?”
Kubalas lirikan tersebut dengan juling dan hela napas.
“Kukira bukan itu masalah kita di sini,” ujarku kemudian mengisikan daging dari hotpot di depan kami ke mangkuk beliau, “makanlah, mumpung masih panas.”
“Cara makan ini baru kulihat lagi di sini,” aku Trira, mengambil sumpit dan coba memegangnya. “Akh, apa kau tidak punya sendok atau garpu?”
Merespons keluhan tersebut, kulambaikan tangan pada pelayan dekat tangga dan menggerakkan kepala.
“Ini disebut hotpot. Orang Timur biasa menyajikannya pas makan bareng,” kataku, tersenyum pada Trira. “Dan, ya. Memegang sumpit memang bikin blibet buat yang gak biasa.”
“Bagus. Sekarang kau menertawaiku.”