“Kenapaaa?!”
Spontan kueratkan pelukan ke tubuh Merike dengar jerit Trira yang tanpa aba-aba.
Di dalam kereta. Aku dengan Merike, kala itu, kami berdua saling dekap di sudut gerbong sementara Ranra melipir ke tepi jendela sisi seberang. Menghindari Direktur Sisik Kayu yang lagi bergumul sama kesibukan dan konflik batin di pikirannya.
Berkali-kali beliau memaki, membentak, serta mengulang-ulang pertanyaan yang sama sekali tidak butuh jawaban. Membuatku dan penumpang-penumpang lain di gerbong tersebut melirik kasihan.
Kalau boleh kubilang, aura Nazila Trira memang sudah kelabu sejak kami masih mengikuti agenda bulanan Serikat Neraca Padi di gedung operasional mereka. Ia kesal lantaran ide-idenya ….
“Tidak diterima—kenapaaa?!”
Sigap kuraih lagi tangan Merike kemudian menutupi kuping kami. Siap-siap buat ….
“Aaa!” Jerit lanjutan direktur. “Aku tidak percaya orang-orang bodoh itu berani menolak semua rencana masak yang sudah kuaturkan buat iklan-iklan produk kita—akh!”
Menurutku alasan sang putri kesal sederhana, ia hanya tidak terbiasa dengan penolakan.
Datang dari keluarga istana serta selalu mendapat apa yang diminta, tentu saja, membentuk karakter Trira saat ini. Lingkungan seperti itu, secara tidak langsung telah membuat beliau memandang perkara lumrah macam pandangan dengan pilihan berbeda sebagai suatu hal asing.
Sehingga, ketika Ketua Serikat menggeleng pada tiga proposal yang ia ajukan beberapa saat lalu seketika kebanggaan beliau pun mencatat hal tersebut sebagai pengalaman pertama dan menerima sebuah luka.
Penyakit anak manja. Namun, ini baru spekulasi.
Bisa juga diriku salah ….
***
“Bura, kenapa dengan Nazila Trira?”
Kuangkat bahu pas turun dari kereta, merespons Stella yang kebingungan waktu melihat Trira berlari dan mengabaikan semua orang saat kembali ke Markas Sisik Kayu.
Sementara itu, Ranra langsung undur diri buat mengurus beberapa hal di kantor utama.
“Gak tahu,” jawabku sembari membantu Merike turun, “Trira sudah begitu dari pas di kereta.”
“Benar gak ada apa-apa, Bura?” tanya Stella, berbisik kemudian celingak-celinguk. “Kulihat ada peta besar di bawah ranjang beliau pas tadi bersih-bersih, sepertinya itu denah wilayah kita sama negara-negara di selatan Sungai Kaliyara ….”
Dengar itu aku jadi berpikir:
Apa jangan-jangan tiga rencana yang ia ajukan ke serikat tadi pagi ada hubungannya?
“Bura …, Bura!” panggil Stella, menyadarkanku dari lamunan. “Kenapa Anda malah bengong?”
“Aku lapar, Stella,” jawabku yang lalu menggandeng Merike, “ada menu apa di restoran hari ini?”
“Hem.” Gadis itu menjuling sesaat sebelum menjawab dan berkomentar. “Gak tahu, aku lebih suka masak sendiri daripada beli jajanan warung—eh, ya, Bura! Aku lupa bilang, restoran kita kedatangan tamu agung, dari Kuil Widupa.”
‘Tamu agung?’ batinku sebelum tanya, “Siapa?”
Stella mendekat lalu berbisik.