Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #30

Ceroboh

“Apa-apaan ini?!”

Tanggal 18 Bulan Empat, Musim Panas 352 Mirandi.

Dua minggu sejak Nazila Trira tantrum sepulang dari acara bulanan Neraca Padi, mataku dibikin terbelalak tatkala turun dari kereta dan melihat asap hitam menjulang bagai pilar di area pabrik. Bukan kebakaran, tetapi jumlah kabin pembakaran arang yang dinyalakan siang itu lebih daripada batas harian.

Bisa kalian tebak ini ulah siapa? Ya. Oleh ….

“Direktuuur!” Kudobrak ruangan Nazila Trira begitu tahu ia tengah berada di mana. “Apa-apaan itu, Anda mau meracuni udara Sabila, hah?” pekikku, gak peduli ada siapa bersamanya. “Menyalakan semua kabin sekaligus bukan cuma rawan kebakaran, tetapi juga berbahaya buat pekerja dan lingkungan, tahu!”

Semua orang mematung dengar keluhanku, kecuali satu orang.

“Anda terlalu khawatir, Tuan Mi.” Nazila Trira. “Aku melakukan ini supaya kita punya stok untuk beberapa tahun ke depan,” ujarnya, percaya diri dan penuh keyakinan, merebah di kursi direktur sambil tersenyum.

Yang, tentu saja, tidak bisa kuterima. “Ini bukan masalah stok, tapi menyangkut lingkungan dan hidup.”

“Apa maksud Anda, Tuan Mi?” tanya seseorang, Ketua Serikat Neraca Padi, yang waktu itu baru kusadari kehadirannya bersama anggota-anggota serikat lain di sana.

Aku, setelah sadar ada orang-orang ini, maju lekas tanya. “Ketua, Tuan Lilyad, Tuan Jackson, Sekretaris …, kenapa kalian semua ada di sini?”

“Anda belum menjawab pertanyaanku, Tuan Mi. Apa maksudnya membakar tadi berbahaya bagi pekerja dan lingkungan sekitar?”

“Hah ….” Kuhela napasku terus menoleh ke Ranra dan memberi isyarat, memintanya agar mengambilkan papan presentasi alur karbonisasi di ruang sebelah. “Sebentar, tunggu sekretarisku dulu.”

“Katakan saja bagian pentingnya apa, Tuan Mi.”

“Benar, kami bukan anak kecil yang tidak tahu apa-apa.”

“Tuan Jackson, Tuan Lilyad. Ini bukan tentang tahu atau tidak, tetapi mengerti apa tidak. Aku tidak ingin Anda berdua dan semua yang hadir membela direkturku dalam urusan i—”

“Nah, Ranra sudah kembali!” sela Nazila Trira, masih secuek ketika aku datang. “Sekarang jelaskan pada kami apa maksudmu tadi, Tuan Mi.”

Meski kesal, usai menjuling aku tetap menjelaskan bahaya yang kumaksud pada semua orang di ruangan. 

Yang, sialnya, cuma ditanggapi sepele.

“Oh, aku mengerti. Kalau begitu kita kembalikan kuantitas pembakaran ke jumlah biasanya besok—”

“Apa?!” Mataku mendelik. “Nona, Anda tidak paham maksud saya. Setelah pembakaran sekarang selesai, kita tidak boleh langsung membakar kayu lagi dalam waktu dekat.”

“Kira-kira berapa lama kami harus menunggu sampai kalian bisa memproduksi arang lagi, Tuan Mi?” tanya Ketua Serikat, entah kenapa dia dan orang-orang yang duduk bersamanya kelihatan sangat tertarik.

Menangkap gelagat tersebut, iseng kukatakan, “Tahun depan. Kita perlu menunggu langit kembali bersih paling tidak sampai musim semi tahun depan.”

“Omong kosong!” teriak Nazila Trira, menyuarakan pikiran semua orang. “Berapa jumlah pelanggan yang akan hilang jika setengah tahun ke depan kita tidak membuat arang, Tuan Mi. Pikirkan solusi lain!”

“Saya tidak yakin Anda baru menyalakan semua kabin hari ini, Nona. Tolong buang kebiasaan mengambil keputusan tanpa berkonsultasi Anda itu atau saya mengundurkan diri dari Sisik Kayu detik ini juga.”

Suasana mendadak senyap. 

Aku dengan Nazila Trira cuma saling tatap sementara orang-orang mematung terbelalak. 

Lihat selengkapnya