“Bariskan semua dari sudut ini ….”
Tanggal 19 Bulan Empat, Musim Semi 352 Mirandi.
Bersiap memulai fase dorman, seisi Sisik Kayu hari ini bahu-membahu merapikan gudang dan peralatan—konsekuensi atas putusan direktur pada pertemuan bersama Serikat Dagang Neraca Padi.
Juga, sekalian berbenah, hari ini kupaksa semua orang selain para pegawai yang kebagian sif jaga penutup buat memilah arang-arang sisa sama perlengkapan kerja mereka biar dibawa pulang.
Itung-itung cuci gudang sebelum ganti perlengkapan baru ….
“Eh?!” Kutahan salah seorang pegawai pas hendak melewati portal. “Kenapa kantong arangmu kosong—hoi, Ranra. Suruh seseorang menemani anak ini mengambil arang, dia belum kebagian.”
“Ah, Tuan Mi. Jangan, tidak usah.” Anak itu memohon minta dilepaskan. “Bukannya belum kebagian, aku memang sengaja tidak ikut mengambil arang.”
“Heh?” Aku mendelik, heran. “Kenapa?” tanyaku lalu menegaskan, “arang-arang yang kubagikan sekarang ini takkan kujual, kau tahu. Gajimu pas masuk tahun depan juga enggak bakal kepotong, kok.”
“Ahaha.” Namun, ia tetap berkeras. “Bukan itu penyebabnya, Tuan Mi.”
“Lah, terus?”
“Anu, rencananya hari ini aku mau menghadiri acara pernikahan teman …,” jelasnya, ragu-ragu. “Jadi tidak akan langsung pulang ke rumah. Kalau ikut mengambil arang, pakaianku bakal kotor.”
Kulirik dia dari atas sampai bawah, pakaiannya sudah agak lusuh padahal.
“Kenapa gak izin cuti saja, atuh?”
“Awalnya aku juga mau begitu, cuma ….” Anak itu menunduk sebentar sebelum lanjut berkata, “Ini hari terakhir pabrik buka sebelum tutup, diriku jadi merasa bersalah kalau mengambil libur sekarang.”
“Hem.” Kuambil sepuluh keping koin. “Nih, buat ganti baju sama dandan. Jangan datang ke acara nikahan dengan tangan hampa sama wajah cemong, sana.”
“Te-terima kasih, Tuan Mi.”
“Sudah, sana.” Kukibaskan tanganku terus lanjut mengawasi kegiatan Sisik Kayu hari itu ….
***
“Akhirnyaaa ….”
Petang hari, setelah mandi dan membersihkan diri.
“Bisa rebahan juga,” senangku, merebah di kursi bambu beranda rumah. “Kubo, apa kau belum selesai?”
“Sebentaaar …,” sahut suara dari dalam, Oukubo.
Sepertinya Ia masih ganti baju.
Lanjut kupejamkan mata lalu menikmati angin senja.
Mumpung hari ini pulang cepat, niatku mau tiduran sebentar sebelum jam makan malam.
Namun. “Kenapa kau tiduran di badanku?”
Kubo, yang sesaat lalu kukira masih belum selesai ganti baju, kala itu malah naik dan merebah di tubuhku.