Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #32

Kabar Untuk Tengah Benua

“Lihat mereka ….”

Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 352 Mirandi.

Sesuai rencana kemarin, Trira hari ini benar-benar mengerahkan Sisik Kayu buat menjelajahi seluruh pasar di Sabila. Sejak pagi, bahkan ketika diriku bertolak menuju Taria, gerobak dengan kuda-kuda markas kami telah lalu lalang hingga perbatasan.

Luar biasa.

“Padahal tadi baru papasan, sekarang sudah ketemu lagi,” ujarku, mengintip ke luar kereta. “Trira betulan tidak mau buang waktu ….”

Nazila Trira tidak bilang apa usaha yang mau dirinya buka, tetapi dari barang dan benda-benda di daftar yang sebelum berangkat sempat kuperiksa kukira itu adalah salon kecantikan.

Ya, salon kecantikan.

Khusus untuk wanita ….

“Hem.” Aku balik merebah ke pangkuan Merike. “Kalau dipikir-pikir, sekarang aku malah ragu bisnis Trira bakal berhasil. Sabila memang membuka perbatasan dan menerima banyak pendatang, tapi kebanyakan cuma pengungsi sama pelarian-pelarian biasa, ‘kan?”

Merike tersenyum, manis sekali.

“Gimana menurutmu, Re?” tanyaku, meraih tangannya lalu kukecup dan dekap. “Apa Sabila masih bakal sama pas kita pulang nanti ….”

Menjadikan Taria dengan Kuil Widupa sebagai alasan buat absen dari Sisik Kayu, diam-diam kukirim juga Panji Kelabang dan Kalajengking untuk siaga di perbatasan sama jalur-jalur air. Memantau pasukan aliansi yang sejak minggu lalu sudah berkemah di pinggiran wilayah kami.

Sebagai sekutu, jujur aku tidak memercayai mereka. 

Perang sepuluh tahun mengajariku jika negara-negara ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan ….

*** 

“Bura.”

“Bura.”

Sebulan kemudian, aku dan Merike pun tiba di Taria. Kota bebas yang dijuluki Gerbang Telaga Mapute. 

“Salam, Semua. Terima kasih sudah menyambutku ….”

Setelah menolak otoritas Vom dan menerima perlindungan Sabila, Taria selanjutnya kujadikan pangkalan militer luar sekaligus negara satelit Kara. Cukup vital buat ukuran kota tepi danau.

Jadi, Jambu dan orang-orangnya kutempatkan di sini.

“Berapa kemajuan rencana kita?”

“Lima puluh persen, Bura.”

“Cetak biru yang kukirim padamu. Para pengrajin sudah melihatnya, bukan?”

“Para dwarf minta tambahan upah—”

“Berapa?” selaku, menaruh tangan dan mengetuk-ketukkan telunjuk juga jari tengah di meja strategi, Aula Istana Bate Taria. “Bilang pada mereka, ‘Selama senapan-senapan lontak tipe baru itu selesai bareng sama perlengkapan kita tahun depan, uang bukan masalah.’”

“Selain dwarf, kita juga punya masalah lain, Bura.”

Melihat ekspresi Jambu dan semua orang, aku tahu ini agak serius.

“Katakan saja,” kataku, mundur dari meja strategi lantas naik ke singgasana. “Aku kemari buat memeriksa rencana kita, kalau ada masalah diriku memang seharusnya diberi tahu.”

“Geng Mata Satu dengan para perompak menemukan pangkalan militer di bekas Kota Cuni dan wilayah Tolitoli,” lanjut Jambu, membeberkan temuan-temuan mereka. “Kemungkinan pangkalan-pangkalan ini merupakan sisa-sisa pasukan kekaisaran lama yang berhasil selamat dari hujan abadi, Bura.”

Lihat selengkapnya