“Silakan ikuti diriku ….”
Tanggal 16 Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.
Dua bulan meninggalkan Kara, aku akhirnya tiba di Dataran Tengah. Wilayah netral di bawah pengawasan Kuil Widupa dan saintess-nya.
Bersama Merike, usai memeriksa Militer Taria, kami akhirnya membawa putra Bura Bella dan Bura Parami, Alexa, dari tempat Jambu ke tanah di mana putraku, Yaspin, dahulu tumbuh.
Namun, siapa sangka kesanku terhadap sang empunya wilayah akan sedikit berbeda daripada rencana.
Ya. Sangat beda sebetulanya ….
“Aku baru tahu kalau Kuil Widupa punya lorong bawah tanah selain jalan masuk labirin …,” ucapku, coba menghidupkan suasana yang sangat sepi sejak kami mengikuti Saintess dari aula utama kuil. “Apa ini jalan ke ruang rahasia?”
“Tidak ada ruang rahasia atau hal semacam itu di Kuil Widupa!” timpal sang ibu asuh, masih sekasar saat kami di atas. “Aku tidak percaya. Nona Saintess, kenapa kita membawa orang luar kemari …?”
Antara sebal dan tidak.
Aku masih dongkol atas sikap si ibu asuh, tetapi juga paham perasaannya pas gadis yang ia momong sedari orok tiba-tiba membawa orang asing ke tempat mereka. Gak ada angin gak ada hujan.
Apalagi ini area terlarang.
Mungkin, jika mau berandai, situasi sekarang akan sama seperti Miaw-ku suatu saat tiba-tiba membawa teman laki-laki ke rumah. Gak bohong, sebagai ayah diriku juga bakal sekesal dirinya.
Meski Saintess bukan putri kandung si ibu asuh, aku paham perasaan wanita itu.
“Mereka bukan orang luar, Laura. Spiritku berdenging dan memintaku mengantar mereka ke Altar Jiwa.”
Oh, jadi tempat yang kami tuju itu Altar Jiwa? Aku baru pertama kali dengar.
“Ah—Re, Lexa!” panggilku, spontan melompat ke depan mereka ketika getaran aneh tiba-tiba memancar dari ujung lorong. “Sembunyi di belakangku ….”
Siap memapak apa pun, kurapal Tapak Dewa dan Pukulan Naga sekaligus.
“Lihat sendiri, ‘kan?” ucap sang Saintess, menenangkan si ibu asuh sebelum menegurku. “Belum pernah ada yang bereaksi dengan spirit selain diriku di altar ini … Tamu, tolong redam aura Anda. Kita tidak bisa masuk kalau kepalan dan telapak tangan Anda membuat para pendahuluku waspada.”
“Hem ….” Ingat status kami, aku pun menurut. Kuturunkan tanganku, melepas rapal Kulit Baja, kemudian mengambil topeng putih dan memakainya. “Segini cukup?”
“Sebetulnya tidak harus seekstem itu, tapi terima kasih ….”
Begitu melewati lorong. Mataku, Merike, bahkan Alexa. Kami bertiga dibikin terbelalak menyaksikan apa yang menyambut di ruangan tersebut ….
“Me-menakjubkan—Ayah, lihat!”
“Kau benar, Lexa. Ini memang luar biasa.”
***
“Ayah Angkat, kau serius?” tanya Lexa, lebih lesu daripada saat tiba di Dataran Tengah, sesaat kami keluar dari halaman Kuil Widupa. “Padahal kau baru menjemputku, kenapa sekarang mau meninggalkanku lagi?”
Aku tersenyum, menggendong, lalu menaikkannya ke punggung kuda.
“Anak nakal. Kata siapa aku mau meninggalkanmu, hah?”
“Tadi, kau bilang aku harus berlatih di bawah pengawasan wanita itu ….”
Oh, aku paham.
“Kau takut nenek di samping Saintess, Lexa,” tebakku, tersenyum pada Merike, meraih dan menggenggam tangannya, lantas menarik kekang kuda. “Ya, ‘kan?”
Anak itu tidak menjawab.
Hening di antara kami kemudian berlanjut hingga mentari sore berlalu dan ….
“Rumah Kecil ….”
Mataku dibikin berkaca pas tahu Gerbang Baruke ternyata masih kokoh di tempatnya.
“Tuan?”
“Ayah, ini tempat siapa lagi?”