Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #35

Apa Tujuannya?

“Aku pulaaang ….”

Minggu pertama Musim Gugur. 

“Lexaaa!” pekikku, berlari dari halaman samping. “Jangan menginjak hala—”

Bdum! Aku terlambat.

“Ayaaah!” Anak itu sudah blepotan kena tumpahan lumpur.

Biar kujelaskan apa yang lagi kulakukan.

Dua hari lalu ….

Ketika melihat papan iklan sebuah toko. “Paman, di depan kulihat ada gambar Rumput Bunga Hantu. Apa Anda masih punya?”

“Kalau papan itu masih di sana berarti masih ada …,” jawab sang pemilik toko, ketus, ia melirikku dari atas sampai bawah kemudian melipat koran di tangannya. “Apa kau seorang alkemis, dari serikat mana?”

“Aku ….” Kugaruk pipiku. “Aku bukan dari serikat mana-mana?”

“Oh, alkemis nganggur.”

Sialan, tapi dia benar. Aku memang menganggur.

“Anda bisa saja, Paman.” Percuma kuberikan alasan juga, faktanya diriku memang tidak punya pekerjaan apa-apa di Dataran Tengah. “Ah, ya, soal Rumput Bunga Hantu tadi—”

“Kujual delapan keping emas,” selanya, menaruh tangan kiri di atas meja dan menatapku. “Herba ini sudah sangat jarang di pasaran, sekalinya ada alkemis biasa takkan melirik karena metode penanganan racunnya yang rumit. Aku tidak mau rugi, jadi kujual dia delapan emas.”

“Boleh kutawar, ‘kan?” tanyaku, menempelkan tangan ke mejanya antusias. “Aku juga mau beli beberapa herba lain, jadi tenang saja, Paman. Kau gak akan rugi.”

“Hem.” Ia memalingkan badan sekian derajat sambil melipat tangan dan mengelus janggut. “Lima persen, tidak boleh minta le—”

“Dua puluh!” tawarku yang lalu menambahkan barang lain, “aku juga butuh Lilin Salju sama Mutiara Ungu, potongan lima persen apa artinya dengan harga penuh?”

“Bunga dengan Rumput yang kau minta bukan barang biasa,” timpal si pemilik toko, “modal mencarinya juga sangat tinggi, jangan menyulitkanku. Sepuluh persen atau tidak sama se—”

“Setuju!” sambarku yang lekas menaruh sekeping platinum, “beri aku juga ….”

Selanjutnya, kusebutkan nama-nama herba yang kumau hingga total harga dikurang diskon tadi pas satu platinum koin di atas meja. Membuat sang pemilik toko ternganga setelahnya ….

“Kau benar-benar memerasku.”

“Selain menyuling pil dan menyeduh ramuan, aku juga harus pandai menghitung, Paman. Kalau tidak tahu harga bahan-bahan obat, bagaimana aku akan menakar ramuanku?”

“Paling tidak beri aku kesempatan untuk menghasilkan uang …,” keluh si pemilik toko, tepat sebelum ia menaruh bungkusan herba kering terakhir bersama pesanan-pesananku di atas meja. “Sudah semua, kau boleh memeriksanya lagi kalau mau.”

“Aku percaya padamu, Paman ….”

Selesai berbelanja bahan herbal hari itu aku jadi kepikiran untuk membuat tungku sama kuali alkimia baru, karena ini jugalah dari kemarin kuaturkan formasi ‘lumpur merah spesial’ di halaman depan.

Siapa sangka. Alexa ternyata bakal pulang terus masuk ke formasi pelentur aura dan meledakkan adonan lumpur ajaiku itu hari ini ….

“Sudah. Badanmu sudah bersih lagi. Sana ambil baju.”

“Lain kali jangan memasang hal aneh di halaman depan, Ayah,” keluh anak itu, selesai kumandikan pinggir kolam belakang. “Untung cuma bom lumpur.”

“Hush!” Aku bangkit lantas mengambilkan baju buat temannya. “Kau juga kalau pulang kasih kabar, jangan menyelinap kayak maling macam tadi. Lihat temanmu, jadi ikutan kena jebakan, ‘kan—”

“Aku sudah tulis surat, Ayah.”

Lihat selengkapnya