Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #36

Praperang Besar

“Ayaaah!”

Hari-hariku di Baruke berlanjut.

Satu mingu sekali Alexa pulang membawa teman, satu demi satu dia kenalkan dan menjadi akrab dengan situasiku bersama Merike. Kadang para pengajar di kelasnya juga ikut berkunjung, membuatku yang biasa menyuling obat dengan tenang beberapa kali meledakkan tungku.

Namun, sebagai ayah yang baik, aku selalu pasang muka senyum serta berusaha agar tampak gembira bila menyambut mereka di depan Alexa.

“Siapa ini, Lexa?” tanyaku, waktu menyambut tamu baru kami. 

Alexa, seperti biasa, semringah mengenalkan orang yang mengikutinya. “Ini guru alkimiaku, Ayah. Alkemis Florin. Profesor Flo, ini ayahku.”

“Ah, Profesor Florin.” Kupersilakan dirinya masuk. “Mari-mari …, tidak enak berdiri di pintu gerbang lama-lama—Reee! Tolong bawakan sepoci teh sama beberapa camilan buat tamu kita.”

Sesaat kemudian, di halaman belakang rumah.

“Kuharap Lexa tidak merepotkan Anda di sekolah, Profesor,” ujarku, membuka topik obrolan dengan sang guru alkimia. “Anak itu sangat periang, terlalu bersemangat bahkan. Aku selalu cemas bila mengingatnya.”

“Hahaha.” Pria di depanku mengusap janggut. “Anda bisa saja, Tuan Mi … kalau boleh jujur, diriku sangat terpukau dan punya harapan pada bakat putra Anda.”

Klise. Hampir tiap pengajar yang Alexa bawa menyinggung bakat anak itu, tapi diriku sendiri belum pernah melihat apa bentuk bakat tersebut.

“Alexa?” Kupasang muka terkejut. “Aku baru tahu dia punya bakat di alkimia.”

“Di antara semua yang pernah kuajar ….” Profesor Florin mencondongkan badan. “Kurasa hanya Laye—”

“Ayaaah!” pekik Alexa dari lantai dua, menjeda obrolanku dan si profesor. “Pot bunga hantuku mana, aku gak bisa menemukannya di kamar.”

“Pot bunga hantu?”

“Benar. Aku mau menunjukkannya pada Profesor Flo.”

“Tanya Rere …,” kataku terus balik duduk bersama guru alkimianya. “Lihat sendiri, ‘kan, Profesor. Anakku sangat aktif, energinya me—ah, Anda mau bilang apa tadi?”

“Oh.” Sang profesor memperbaiki gestur. “Hanya Layeli yang sebanding dengan putra Anda, Tuan Mi.”

“Siapa Layeli?” tanyaku, memicingkan mata. 

Prof. Florin berdeham kemudian berkata, “Salah seorang binaan Saintess, jenius alkimia di Kuil Widupa.”

Kuangguk-anggukkan kepalaku.

“Meski belum semahir Layeli, Alexa punya potensi ….”

Aku tidak akan kaget. Semua pengajar yang dibawa Alexa mengatakan hal senada. 

Namun, tidak satu pun terbukti pas diriku turun langsung buat memeriksa anak itu.

Entah karena standarku yang ketinggian. Atau, mereka cuma sedang menjilat dan bicara omong kosong.

“Ngomong-ngomong, Tuan Mi, apa Anda seorang herbalis?” tanya Prof. Flo, sesaat diriku membuka kipas dan melihati ladang di seberang kami. “Tanaman-tanaman ini bahan pil dengan ramuan obat, bukan?”

Lihat selengkapnya