Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #37

Kawan Lama

“Ayah.”

Aku tersenyum menyambut Alexa yang pulang hari ini.

“Bagaimana kondisimu, kau sudah baikan, ‘kan?”

“Lihatlah sendiri.” Kuputar badan di depan anak itu. “Apa ayahmu ini kelihatan masih gak berdaya, hah?”

“Hahaha.” Alexa memeluk pinggangku. “Aku senang kau sudah baikan, Ayah. Ah, ya ….” Ia menuntunku ke luar gerbang. “Ayo temui guru sihir penyembuhku, Nona Wanyan.”

Guru sihir penyembuh?

“Nona Wanyan, ini ayahku.”

Wanita muda, seorang elf hitam.

“Salam, Nona. Aku ayahnya Lexa, maaf jika putraku merepotkanmu selama di sekolah—ah, mari-mari, kita bicara di dalam. Tidak enak mengobrol di depan gerbang begini ….”

Sesaat kemudian, di halaman belakang—tempatku biasa menjamu tamu.

“Silakan dicicipi, anggap saja rumah sendiri.”

“Terima kasih, Tuan Mi.” Senyum gadis itu sangat manis, sikap dan pembawaannya juga elegan. Kukira ia adalah keturunan bangsawan ras peri hitam dari Hutan Pilar Hitam di Kolom Empat-Empat. “Ah, ya, diriku kemari sekalian mau mengantarkan surat.”

“Surat?”

“Benar.” Gadis itu merogoh kantong dan mengeluarkan sepucuk amplop. “Saintess menitipkan surat ini untuk Anda. Beliau bahkan berpesan, biarawati kami sangat kewalahan di perbatasan, Tuan Mi.”

“Oh. Aku mengerti.” Kuterima surat darinya lalu kubuka ….

Selesai kubaca. “Tolong sampaikan pesanku pada Saintess, orang-orangku sedang di perjalanan.”

“Akan kusampaikan ….”

Tidak seperti tamu-tamu sebelumnya. Guru sihir penyembuh Alexa hanya mampir sekejap. Ia lekas undur diri begitu diriku membuka surat dan memberi pesan balasan untuk Saintess ….

“Ayah, mana Nona Wanyan?”

“Sudah pulang,” jawabku, melengos ke ladang dan balik pada kegiatan sebelum Alexa memanggilku dari pintu depan beberapa saat lalu. Memetiki daun-daun herba buat diolah.

Sementara Alexa, yang sempat mematung sembari menenteng nampan dekat kursi malas dan meja tamu, cuma memiringkan kepala lantas merebah dan mencamili kue-kue kecil di sana.

Hari itu, minggu ketiga Bulan Delapan 352 Mirandi, rencanaku mengalami percepatan.

Bangsawan-bangsawan yang terusir dari Dataran Tengah tempo hari kini mengatur tentara di perbatasan Kolom Tiga dan Empat-Tiga, memblokir Jalur Benang dan kompak melakukan aksi mogok makan massal—meminta Saintess agar membuka kembali zona netral untuk Kekaisaran Matilda.

Hal yang bikin penerus Salsabila sakit kepala sampai mendesakku segera mengirim orang ke perbatasan buat menangani mereka ….

*** 

Satu bulan kemudian. 

Suruhan Jambu buat membantu Kuil Widupa menangani para demonstran sebelumnya pun tiba. Mereka bandit-bandit yang pernah kubicarakan dengan Merike awal musim gugur ini.

Laskar Kunci Rusak ….

“Kau serius garong-garong itu suruhan orangmu, Mi?” tanya Saintess, waktu ia bertamu ke Baruke. “Bukan maksudku enggak percaya, tapi apa gak ada tentara yang lebih profesional. Yang kita hadapi sekarang—”

“Aku juga gak mau mengirim mereka,” timpalku yang lalu menjelaskan, “tapi apa boleh buat. Yoram panji gorgonku kadung membayar bandit-bandit ini buat mengusir para simpatisan Matilda dari halaman kuil widupamu, ‘kan?”

“Hah ….” Saintess merebahkan diri di sofa ruang tamuku. “Tahu begini aku gak bakal minta bantuan, da.”

“Nasi sudah jadi bubur.”

“Eh, ya, Mi. Peta yang lagi kau gambar itu bukan Kolom Empat-Tiga, ‘kan?”

“Hum.” Kuabaikan dirinya dan coba fokus pada pekerjaan, menggambar alur suplai dengan jalur lalu lintas pasukan bantuan untuk kampanye aliansi delapan negara tahun depan.

Lihat selengkapnya