Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #38

Akhir Tahun dan Agenda Tahun Baru

“Kukira kau gak bakal pulang ….”

Minggu kedua di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 352 Mirandi. Sekembalinya dari Dataran Tengah, delikan tajam dengan berondong pertanyaan langsung menyambutku di Kantor Utama Sisik Kayu.

Nazila Trira, siapa lagi, segera mengintrogasiku terkait pembubaran Matilda Tengah serta alasan di balik aliran pasukan aliansi yang Panji Kalajengking biarkan melintasi Distrik Timur Sabila beberapa bulan ini.

Ia, bersama semburan tanda tanya dari mulutnya, membuatku tergelayut lemas di depan meja kerja.

“Tri—”

“Panggil aku Nona!” Telunjuk beliau memang mungil, tapi lebih keras daripada jarum langit. “Orang-orang ini memangkas pemasukan salonku empat bulan tera—”

“Anda betulan buka salon, Nona?”

“Iyalah!” sergah beliau, cekak pinggang dan melotot. “Kau pikir aku buka usaha apa di tempat yang banyak pendatang wanitanya ini, hah?”

Kulambaikan tanganku, tak sanggup lagi meladeni beliau.

“Kenapa denganmu, Tuan Mi? Jangan bilang capek, beri dulu aku penjelasan kenapa tentara-tentara dari selatan melin—”

“Kampanye tahun depan,” jawabku, lesu. “Tahun depan mereka mau menyerbu Bravaria dari arah Xetum di Banori, Nona. Kalau Anda lihat peta, pasukan enam negara akan menyerang dari sana sementara kita membantu lewat samping.”

“Samping?”

“Mantrus.” Kutunjuk gambar di pojok ruangan, peta Kolom Satu dan Dua-Tiga Benua.

Nazila Trira, cepat-cepat mendekati peta tersebut kemudian memeriksanya. “Maksudmu kalian, kalian—akh! Kenapa aku bisa gak sadar. Kalian membuka wilayah di tiga distrik Sabila sama menerima pendatang baru kemari untuk rencana ini.”

“Pintar.”

“Berisik!” bentak Trira sebelum hanyut dalam pikirannya, “aku gak butuh pujianmu ….”

*** 

Merunut agenda yang telah kususun bersama Jambu dan para yoram empat panji, begitu musim semi tiba Bravaria akan ditekan dari tiga arah oleh aliansi tujuh negara. Sedang kami, Kara pada puncak konflik dan saat-saat kritis tersebut, akan mengirim proposal gencatan senjata dengan imbalan kedaulatan mutlak.

Maksudku, ketimbang mengurusi Bravaria yang bisa digempur kapan saja, bukankah menyingkirkan bakal ancaman kedaulatan mereka dulu bakal lebih penting. Matilda Timur bersama penyintas dunia lain.

Hanya, apakah rencana itu akan berhasil? Tidak ada yang tahu ….

‘Aku merasa bodoh …,’ batinku memikirkan semua ini. “Kubo?”

“Tuan.” Oukubo, ia tersipu membawakanku handuk. “Kau terlalu lama di Dataran Tengah.”

“Ya.” Kuabaikan dirinya terus keluar dari bak, melapi badan, lalu melengos dari kamar mandi. “Kau benar, tapi sekarang aku tahu setebal apa tembok timur yang nanti akan kita dobrak—”

“Bukan.” Ia tiba-tiba saja memeluk tubuhku dari belakang. “Maksukdku, kau terlalu lama membiarkanku kering ….”

Oh. Mari lompati adegan berikutnya sampai ke besok pagi ….

“Apa sesuatu terjadi selama aku tidak ada?” tanyaku, membuka obrolan ketika sarapan bersama Oukubo dan Dorothe. “Maksudku, Trira sama Sisik Kayu.”

Dorothe menggeleng.

“Hem.” Aku berpikir. “Berarti selain arang, Serikat tidak menaruh minat sama salonnya Trira, ya?”

“Gak juga,” sambung Oukubo, ia mendekat lalu mengambil seiris kentang goreng dari piringku. “Ada dua regu dagang yang coba memodali beliau, Mutiara Merah Muda sama Selendang Mawar.”

“Katanya tadi tidak terjadi apa-apa?” tanyaku lagi, melihat ke Dorothe.

Oukubo kembali mengambil seiris kentang, menggigit separuhnya, kemudian meyuapkan sisanya padaku tanpa sungkan. “Memang bukan di Sisik Kayu, kok, Tuan.”

“Terus?” Kuterima suapan tersebut, sekalian kuemut juga ujung telunjuknya sebentar.

Lihat selengkapnya