Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #40

Lanjut Kerja

“Aku tidak menyangka Serikat akan membangunkan pabrik baru untuk kita di luar Sabila, Tuan Mi.”

Awal tahun baru.

Obrolanku bersama ketua dan orang-orang Neraca Padi sebelum Direktur Sisik Kayu sebelahku memasuki ruangan menjadi rahasia di antara rahasia. Dengan lima persen keuntungan, pabrik-pabrik baru yang Trira singgung barusan akan mengikuti semua prosedur dari orang-orangku hingga kerja sama ini selesai.

Memberiku akses penuh buat masuk ke gudang-gudang senjata tetangga …. 

“Sepertinya mereka memikirkan proposal kita tahun lalu, Nona. Menaikkan kapasitas produksi hingga titik maksimal tanpa risiko, atau pendeknya: efisien.”

“Aku tidak mengerti bahasamu,” timpal Trira, kembali ke meja di belakang.

Aku, mengikutinya dan kembali ke mejaku. “Anda tidak harus mengerti. Cukup tanda tangani saja semua proposalku sama punyanya serikat kalau penawaran mereka menguntungkan bisnis kita.”

“Hem.” Beliau buang muka. “Aku memang tidak ahli soal per-arang-an, tapi aku juga harus selektif. Kalau keputusan atau langkahmu merugikan perusahanku, aku juga yang nanti bakal kena imbas.”

Perusahaanku? Nazila Trira benar-benar mendalami peran.

“Eh, ya, Nona. Apa salon Anda jadi buka cabang baru bulan ini?”

“Soal itu ….” Trira merebah di kursinya. “Aku tidak tahu, keuntunganku akhir musim dingin kemarin gak se-wah bulan-bulan sebelumnya. Ditambah saingan-saingan baru, kukira salonku harus punya strategi jitu biar enggak kehilangan pelanggan.”

“Saingan?”

“Ya, saingan. Mafia sama tempat-tempat hiburan besar mulai melirik usaha salon belakangan ini, mereka bahkan punya layanan plus-plus yang disukai pelanggan—kau tahu maksudku, ‘kan?”

“Tunggu, maksud Anda tempat hiburan … bordil?”

“Apa lagi?” Trira menjuling singkat. “Selain pub, bordil laku keras di lokasi urban macam Sabila, tahu.”

“Bukannya Muri melarang tempat-tempat macam itu, ya?”

“Kau tahu ‘Satu Mare’?” tanya beliau, melirikku lewat ekor mata. “Lahan bebas di luar perbatasan. Mereka menggunakan lokasi tanpa hukum itu buat membuka rumah-rumah bordil dan semacamnya.”

“Hem.” Aku menengadah, terus bersandar ke punggung kursi. “Kalau lokasinya di luar Sabila kita gak bisa berbuat apa-apa—”

“Itu dia!” sambar Trira, kelihatan sangat gemas. “Mereka gak kena sentuh hukum, pelanggan-pelangganku mengeluh suami mereka tiap malam pergi ke sana, terus sekarang mereka juga punya salon sendiri. Pria-pria hidung belang ini membawa para pelangganku kabur pakai alasan di sana sekalian bayar.”

Masuk akal. Ketimbang bayar dua kali mending pindah langganan biar hemat. Bisa kuterima.

“Apa kau gak bisa melakukan sesuatu?” jerit sang direktur dari kursi beliau, “ubrak-abrik usaha mereka atau apa kek, biar pelanggan-pelangganku pada balik ke salon kita.”

Kukerlingkan mata merespons permintaan beliau, tidak tahu harus bilang apa. Hukum sama urusan di luar wilayah sendiri, bukan kuasaku.

“Aku tahu melac*r atau hal-hal macam ini biasa buat para hidung belang, tapi jangan merebut pelanggan-pelangganku juga, Sialaaan!” maki Trira, lebih baik tidak kukatakan bagaimana beliau di kursinya. “Arrrgh! Ingin sekali kurobohkan bangunan-bangunan liar mereka—akh!”

Lihat selengkapnya