Kara: Dunia yang Berbeda

Saepul Kamilah
Chapter #43

Hadiah Balasan

“Serius mau melepaskan mereka?”

Kutarik pinggul Oukubo yang kala itu tengah kupangku supaya lebih lekat padaku.

“Perasaanku saja atau gerbong ini memang tiba-tiba jadi sempit, Kubo?” tanyaku menggodanya, coba mengalihkan topik lewat guyon agar fokus sang elf berubah. “Kau juga—”

Aku langsung berhenti tatkala telunjuk lentiknya menempel di bibirku.

“Kurasa aku gak perlu bilang sesakral apa urusan berat badan wanita, ‘kan, Tuan?” tuturnya lembut, tetapi bikin merinding siapa pun yang dengar. “Lihat mataku saat bica—”

“Bura.” Beruntung, panggilan dari luar kereta menyelamatkanku. “Sesuai perintah, tahanan dilepas secara terpisah dan ….”

Agenda di Distrik Selatan terpenuhi. 

Hadiah dari tetangga dekat Kara sudah kuterima dan telah kubalas sebaik yang kubisa. Meski tak seheboh kejadian di kediaman Weka Mapu Varujin, mengembalikan mata-mata mereka tanpa cedera kurasa cukup untuk menjadi sebuah peringatan.

Macam yang dibilang tahanan di Ruang Bawah Tanah Kantor Muri tadi pagi ….

“Jangan terlalu kejam?”

“Ya, jangan terlalu kejam,” ulang tahanan di depanku, menekankan hasil diskusi kami. “Caramu merapal penyembuh sudah jahat. Sekarang kau mau mengembalikan mereka buat jadi ‘hadiah’ atas nama Kara, itu keterlaluan namanya.”

“Dia benar!” dukung orang-orang di sel sebelah, “kalian bajingan yang tidak punya hati, mengembalikan kami ke Pluma sama saja dengan menyuruh mati tanpa kehormatan.”

“Itu intinya,” jawabku semringah, menanggapi para tahanan dengan senyum dan tangan terbuka. “Aku tahu mereka mengirimmu juga teman-temanmu untuk menyusup lalu membuat kacau Kara, paling gak memata-matai, jika kalian kembali siapa pun dalang penyelundupan ini akan lebih waspada, bukan?”

“Argh!” Salah seorang tahanan menjerit. “Kenapa kepala orang-orang Kara sekeras batu,” keluhnya sambil meratap di sela-sela jeruji pembatas sel, “sudah kubilang aku itu pembuat senjata, kami kabur dari Pluma karena penguasa mereka tidak membayar upah—”

“Berhenti membela diri, Wiliam!” bentak tahanan sebelahnya, “dia tidak pernah menghitung kita sebagai ancaman. Sebaliknya, orang ini menganggap mata-mata hanyalah sebagai pengisi kantong uang.”

“Aku suka orang cerdas,” timpalku, makin senang seseorang mengerti caraku. “Kara belum bisa menjalin hubungan dagang dengan negara lain tanpa mengandalkan serikat ataupun pihak ketiga, kuyakin kalian pun paham sesulit dan seserius apa situasi itu buat kami. Jadi—”

“Aku tidak menemukan kaitan dengan praktik melepas mata-mata di perbatasan ini, maaf saja.”

“Bisa kuterima.” Kuanggukkan kepala pelan dua kali, paham sudut pandang tahanan satu itu. “Langkah ini memang sulit diterima. Toh, hubungannya pun gak langsung. 

Terus juga, selain berisiko, dia bisa membuat kami disalahpahami sebagai ceroboh, pengecut lemah, atau enggak tegas dalam bersikap.”

“Lantas kenapa tetap kalian lakukan?”

“Oh.” Mulutku membulat. “Jadi kau lebih suka mati di penjara setelah tangan dan kakimu patah?”

Lihat selengkapnya