“Ada kabar baik buatkukah?”
“Kau pernah isap tembakau?” tanyaku, menanggapi mata penasaran Oukubo spontan, waktu pintu kereta kubuka selesai dari Kantor Serikat Neraca Padi. “Kukira padudan dari gading gajah atau cula badak bakal jadi cendera mata bagus.”
“Aku bukan penikmat candu,” akunya, meraih kerah jubah lantas mendudukkanku dalam kereta. “Cuma, jika kau mau diriku jadi salah satunya maka a—”
“Hanya tanya,” selaku, mengakhiri topik absurd tersebut lalu mengetuk jendela kereta, isyarat pada kusir agar jalan. “Kita sama-sama bukan pecandu, kenapa harus mengubah itu?”
Oukubo membuka lengan kemudian merebah padaku.
“Aku sudah menangkap ide aneh di kepalamu,” tuturnya dengan senyum manja, “akui saja, kau mau lihat tanganku memegang pipa dan mulutku meniup asap, ‘kan?”
Binggo! Ia menebak bayangan di kepala yang kudapat setelah melihat Ketua di kantornya sekian saat lalu.
“Kurasa ….” Aku bergeser buat bersandar ke sudut gerbong. “Memang mustahil menyembunyikan pikiran liarku darimu, ya, Kubo?”
“Panggil aku sayang,” pinta sang elf tiba-tiba, “aku selangkah di depan Rere soal memahamimu ….”
Entah harus senang atau bagaimana, tapi wanita yang lagi bersandar padaku ini memang agak lain.
“Belikan aku padudan atau pipa candu,” sambung Oukubo, “terserah mana saja, dan kau akan lihat diriku yang lebih menggoda ketimbang isi kepala—”
“Sudah kubilang tadi cuma tanya, Kubo. Mana mau aku kau jadi pecandu ….”
Begitu kataku padanya di kereta sepulang dari kantor serikat hari itu, tanggal 16 Bulan Satu 353 Mirandi, penuh keyakinan nan teguh. Tidak ingin ia mengisap candu. Namun, dasarnya mulut lelaki, selang sekian hari diriku malah mengukirkannya sebatang padudan giok serta membelikan sekotak tembakau.
“Hahaha!” Hingga ia terbahak memegangi perut. “Kan, kau kalah sama keinginan nakalmu ….”
Ya. Aku takkan mengelak. Rasa penasaran memang telak mengalahkanku saat itu.
***
“Mengisap candu gak bagus buat paru-paru—”
“Terus kenapa mengukirkan padudan giok susu ini sama membelikanku sekotak tembakau iris kemarin?”
Aku tidak bisa menjawab, balasannya tepat sasaran.
“Jangan cemas begitu,” ucap Kubo, selesai mengisi padudan dan hendak menyalakannya. “Aku tahu batas, kok, Sayang. Janji, cuma isap sedikit dan cuma di depanmu.”
“Gak usah bilang janji,” balasku, topang dagu lalu memperhatikan dirinya. “Kita kan enggak tahu ke depan bakal gimana habis isapan perta—um … uhuk! Uhuk!”
“Payah!” komentarnya, sesaat asap hasil cekokan dari mulut Oukubo kumuntahkan semua. “Kau memang gak bakat jadi pecandu, huh.”
Sialan. Aku gak siap disosor kayak barusan.