Raya terkejut menemukan Hanin didapur sepagi ini. Sudah rapi berseragam. Tampak sedang menyiapkan bekal. Raya melirik Mbok Darmi yang sedang mencuci piring dibelakang Hanin. Mereka saling melempar pandangan seakan bertanya satu sama lain. Mbok Darmi mengangkat bahunya sebagai jawaban tidak tahunya.
"Pagi banget, Han," sapa Raya berdiri didepan pantry.
Hanin yang sedang memotong sandwich mendongak. "Baru bangun, Tan," ucap Hanin tersenyum.
"Hmm .." Raya menjawabnya dengan sebuah deheman. "Sandwich dada ayam. Tumben. Kamu kan lebih suka paha atas karena lebih juicy," ujar Raya memperhatikan sisa katsu dipiring kecil.
"Kalori pada dada lebih pas untuk atlet, Tan," ucap Hanin.
"Hah? Atlet? Hubungannya?" Raya bingung sendiri.
Hanin baru sadar kalau ia hampir salah bicara. "Maksudnya begini, Tan. Hanin kan jarang olahraga. Jadi, lebih baik Hanin mulai pola hidup sehat sebagai pijakan awalnya," Hanin menjelaskannya senatural mungkin dengan cara yang aneh.
Raya tentu nggak akan langsung percaya.
"Pacar kamu atlet sekolah ya?" Tebak Raya.
"Hah? Enggak kok, Tan!?" Tolak Hanin salah tingkah. Ia secara terburu-buru menata bekal yang telah dibuatnya kedalam tas lalu bersiap pergi.
"Udah ya, Tan. Hanin pamit. Udah kesiangan nih," ujar Hanin buru-buru. Susunan kalimatnya kacau. Hanin menyadari itu. Karena itu ia ingin segera kabur dari sini.
"Kesiangan apa sih, Han!? Ini tuh kamu masih kepagian 2,5 jam!!" Seru Raya yang hanya ditanggapi cengiran Hanin yang sudah berlari keluar rumah.
"Aneh banget sih tuh anak!" Seru Raya bicara sendiri.
Mbok Darmi mendekati Raya. "Opo sing aneh toh, Mbak. Itu wes tanda kalau Mbak Hanin punya pacar toh," ujar Mbok Darmi yakin.
Ucapan Mbok Darmi itu membuat Raya mengingat anak lelaki yang tengah mengawasi Hanin dua hari yang lalu. Juga ciri-ciri yang disebutkan Hanin. Persis sama. Apa iya?
***
Hanin berjalan canggung masuk ke lapangan indoor. Tanpa pelajaran olahraga mungkin ia tidak akan pernah masuk ke sini. Ini juga pertama kalinya, Hanin melihat tim basket sekolahnya berlatih. Semuanya cowok. "Ya iyalah, Han. Semuanya cowok," ucap Hanin sendiri. "Nyesel gue kesini," tambahnya.
Arsha melihat Hanin dari tengah lapangan. Ia tertegun lalu tersenyum lebar kemudian. Arsha berjalan keluar lapangan setelah meminta izin pada Faz selaku kapten tim. Ia menghampiri Hanin yang tengah berdiri canggung disamping bench.
"Hai," sapa Arsha ramah. Seperti biasanya.
"Hai," jawab Hanin yang senang tidak perlu berteriak memanggil Arsha. Karena ia malas menjadi pusat perhatian. Hanin mengangkat map tugas yang dibuatnya semalam suntuk sampai ia tidak mengerjakan novelnya. Meski faktanya Hanin sedang mengalami writers block¹ sekarang. Well, sejak ia menerima buku catatannya yang hilang dari Rai. Hanin memang seperti hilang arah. Tidak bisa menulis seperti biasanya. Ia juga tidak paham alasannya.
Arsha tersenyum. "Okay, ayo duduk dibench," ajak Arsha. Hanin mengangguk. Lalu berjalan mengikuti Arsha. Mereka duduk dibaris kelima. Saling berdampingan. Hanin mengulurkan map berisi tugas. Arsha dengan serius memeriksanya. Kagum dia dengan kemampuan Hanin menyusun laporan. Gadis ini bukan hanya cantik tapi juga pintar. "Laporannya bagus banget. Detail. Kamu yakin nggak mau masuk Stanford bareng aku?" Ujar Arsha.
Hanin menggeleng. "Why?" Tanya Arsha yang beneran ingin tahu alasannya.
"Itu almamater orang tua aku. Mereka ketemu dan jatuh cinta di ANU," jawab Hanin. Arsha menatap Hanin. "So, you've planned to fall in love there too?" Ucap Arsha.
Hanin menggeleng. "Jangan suka tarik kesimpulan sendiri. Aku berharap bisa lebih dekat aja sama mereka dengan masuk almamater yang sama," ucap Hanin seraya membayangkan almarhum orang tuanya.
"Lebih dekat? Emang sekarang mereka dimana?" Tanya Arsha.
"Di surga," jawab Hanin. Arsha mendongak. Kini ia menatap wajah Hanin. Sorot mata sendu Hanin tampak begitu jelas. Arsha merasa bersalah. "Maaf Han, aku nggak tahu," ucap pelan Arsha.
"It's okay ..." sahut Hanin dengan senyum kecil canggung. Dia memang tak pernah bercerita mengenai orang tuanya pada orang lain. Selain karena ia tidak punya teman dekat selain Kaori. Hanin juga merasa tak nyaman. Cerita itu seperti menariknya ke masa lalu. Saat telepon rumahnya berdering, Mbok Darmi memeluknya erat dan dirinya yang menangis histeris. Hanin takut mengenangnya. Tetap menjaga jarak dengan kesedihan adalah pilihan teraman yang selalu diambilnya.
"Lagian itu udah lama kok, Ar. Dari usia aku masih delapan tahun," ucap Hanin.
"Nggak perlu dilanjutin kalau kamu belum sanggup cerita, Han," ucap Arsha tersenyum.
Hanin tertegun mendengarnya. Ia entah bagaimana merasa dimengerti. Untuk pertama kalinya. "They must be so proud of you now," tambah Arsha. Kali ini senyumnya begitu cerah. Hanin kembali bengong. Ada perasaan aneh menjalar dalam dadanya. Perasaan yang membuatnya tak nyaman dan ingin menyudahinya. Perasaan yang seakan-akan ingin menariknya keluar dari dalam benteng tinggi pertahanan hatinya. Jarak yang telah dibangunnya dari orang lain semenjak kedua orang tuanya meninggal.
"Ini kamu pegang, kamu pelajarin, nanti pas jam kelas bimbingan kamu yang presentasi. Okay?" Hanin berusaha mengenyahkan perasaan yang terasa sangat baru baginya itu. Arsha mengangguk paham. Ia kemudian menyimpannya disamping kanan.
"Eh, aku udah bilang ini belum sih?" Tanya Arsha seraya menatap Hanin dengan senyum menawannya.
"Apa?" Bingung Hanin.
"Kamu cantik banget hari ini," jawab Arsha.
Hanin bengong. Lalu menyipitkan mata sambil memanyunkan bibirnya. "Aku beneran bisa Thai Boxing loh, Ar!" Tukas Hanin.
Arsha tertawa.
"Iya aku percaya," sahut Arsha santai. Namun ia mencodongkan wajahnya kearah Hanin.
Hanin yang kaget dengan gerakan itu tak sanggup menghindar dan malah membeku ditempat. "But honestly, aku lebih suka rambut kamu dilerai begitu aja. Sederhana tapi istimewa," ucap Arsha setengah berbisik.
Wajah Hanin sontak memerah. Jantungnya dag dig dug tak jelas lagi. Kedua matanya membuka menatap Arsha yang tersenyum kecil dengan sorot mata hangat. Lebih hangat dari sinar matahari pagi yang baru terbit.
"Udah ngegombalnya!?" Judes Hanin.
Arsha tersenyum malu. Ia tahu tidak akan mudah mendekati Hanin. Apalagi setelah ia mendengar cerita mengenai keluarga Hanin barusan. Tapi ia tidak ingin berhenti mencobanya. Tidak jika itu mengenai Hanin Lovina.
"Keliatan banget ya!?"
"Heh!" Galak Hanin
"Itu jujur loh, Han," tukas Arsha. Hanin malah makin memicingkan mata. "Mending aku ke perpus!" Kesalnya.
"Tuh ngambek kan," Goda Arsha. Hanin memeletkan lidah. Lalu ia mengambil sekotak bekal dan sebotol susu almond dari dalam tas-nya. Ia memberikannya pada Arsha. Pria itu tampak bingung.
"Ini apa, Han?"
"Kan kamu bilang kalau latihan pagi sampai nggak sempat sarapan. Itu tadi aku bikinin bekal. Sandwich isi katsu. Tenang aja. Katsu-nya pakai dada ayam kok. Jadi aman buat kamu. Terus itu juga susu almond. Sehat dan enak," jawab Hanin.
Kali ini Arsha yang tertegun mendengarnya. Dari penjelasan panjang tersebut. Kesimpulan Arsha se-singkat Hanin membuatkan bekal untuknya. Ia tercengang sendiri.
"Aku nggak lagi mimpi kan?" Gumam Arsha.