Karakter Baru

Pink Unicorn
Chapter #5

KELUARGA ARSHA

"Mamiiii," Suara Arsha nyaring melonglong dari arah luar pintu. Kama menoleh, tersenyum lebar mendapati putra bungsunya pulang. Arsha mendekap Mami-nya erat dari sebelah kiri. Lalu menciumi pipinya. Kebiasaan yang dimulainya dari usia 4 tahun.

"Tumben udah pulang latihan?" Tanya Kama.

Arsha masih bergelayut dipinggangnya. "Tadi pagi udah kan, Mih," jawab Arsha.

Kama jadi ingat.

"Ar, kamu tuh kalau latihan pagi. Sarapan yang disiapin Lita tuh dibawa. Jangan lewatkan sarapan! Masa atlet nggak tahu!" Ucap Kama.

Sejak kemarin ia ingin mengatakannya. Namun selalu lupa. Atau Arsha-nya sudah berangkat. Arsha terkekeh.

"Santai aja, Mih. Udah ada orang yang bawain Arsha sarapan kok," ucap Arsha.

Dalam benaknya muncul wajah Hanin. Bibirnya tersenyum tanpa bisa dicegahnya. "Siapa?!" Kama menyelidik.

"Fans club kamu?" Tambahnya. Arsha menggeleng. Kama memperhatikan raut wajah putranya. Takut salah mengartikan. "Pacar?" Tak tahan ia menebaknya. Senyum Arsha mengembang lebar.

"Belum," jawab Arsha.

Kening Kama mengerut. "Belum kok udah buatin sarapan?" Curiga Kama.

Arsha melepaskan pelukannya. "Katanya ... Persis seperti Mami ... Dia kasihan lihat Arsha melewatkan sarapan setiap ada jadwal latihan pagi ..." Jawab Arsha tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dari sorot matanya.

Kama melihatnya dengan jelas. "Kedengarannya, she is good," tukas Kama.

"More than good, Mih. She is awesome. Hanin Lovina namanya," jawab Arsha bangga seakan Hanin memang calon pacarnya. Kama tersenyum meledek kearah Arsha. "What a beautiful name!" Serunya.

"More than just a name," gumam Arsha. "Kenalin dong!" Tukas Kama. "Nanti ... Tenang aja. Pasti akan Arsha kenalin," ujar Arsha yakin.

Arsha melongok jam tangannya. "Ar ada janji skype sama Kak Arya. See you on dinner, Mih,"ucap Arsha lalu mengecup pipi Kama dalam dan lama. Sebelum akhirnya ia menaiki tangga. Berjalan menuju pintu kamarnya yang berwarna cokelat gelap. Arsha membuka gagangnya. Masuk. Melempar tasnya keatas kasur lalu duduk didepan kursi personal computernya. Ia menekan tombol lalu muncul wajah Arya. Anak sulung keluarga Reinhard.

"Hei, dude!" Sapa Arya.

Arsha tersenyum lebar.

"Hei, Kak," sapa balik Arsha.

Perbedaan usia 4 tahun tidak membuat hubungan mereka berjarak. Arsha sangat terbuka dengan kakaknya. Meskipun kini Arya sedang kuliah di Australia. Tepatnya berkuliah di kampus impian Hanin. Arsha ingat, saat tragedi Gyana menghantam hidupnya. Arya adalah orang pertama yang dia beri tahu. Orang pertama yang menyemangatinya dan selalu meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Arsha selalu merasa beruntung memiliki Arya dihidupnya. Karena itu, Arsha tak pikir panjang lagi untuk memberitahu kakaknya bahwa ada seorang gadis judes yang tidak terdampak pada pesonanya. Arya menjadi orang satu-satunya tempat Arsha menceritakan ketertarikannya atas Hanin Lovina. Serta kelakuan-kelakuan aneh (menurut Arsha) yang Hanin lakukan.

"Progress?"

Arya meledeknya.

"Kirain kita skype karena kakak mau cerita soal kegiatan akhir semester di A-N-U," ujar Arsha.

Sejak mengenal Hanin. Sejak tahu Australian National University adalah kampus impian Hanin. Arsha selalu meminta informasi lengkap ke Arya mengenai ANU. Setiap mereka skype. Arsha bahkan menanyakan circle pertemanan disana. Seakan ia adalah orang tua Hanin yang tengah observasi tempat kuliah anaknya kelak.

"Pay me first," ujar Arya tersenyum.

Arsha tersenyum menatap wajah kakaknya dilayarnya. "She cooked me a breakfast. Literally it's kind of healthy sandwich for an anthelete like me," jujur Arsha. Arya sudah memekik wow saat Arsha baru sampai dikalimat 'membuatkan sarapan'.

"Arsha Bayanaka memang ahlinya," ledek Arya.

"I don't think so," gumam Arsha.

"Maksudnya?"

"Ya, hari ini ada presentasi kelompok. You know, we're in the same team. Dan itu hanya sebuah empati antar rekan sejawat. Nggak lebih. Seenggaknya itu yang mungkin ada dalam pikiran Hanin," jawab Arsha tak menaruh ekspektasi tinggi atas sandwich.

Arya tersenyum. Ia tahu Arsha hanya tak ingin terburu-buru. Ini pertama kalinya Arya melihat sinar mata Arsha berkilat saat menyebut nama seorang gadis. Like he really means it. Dan Arya sangat menyukainya. Arsha, adiknya ... Tidak ada yang pernah membuatnya bersusah payah untuk mendapatkan sesuatu. Tentu kekayaan dan kekuasaan keluarganya memiliki andil atas kemudahan itu. But most of all, Tuhan memang tidak ingin Arsha susah. And somehow, itu membuat Arsha kadang tak bisa menahan emosinya. Terlihat jelas saat tragedi yang dibuat Gyana.

Karena itu, Arya berpikir, fall in love so hard akan membuat Arsha belajar mengendalikan emosi yang sering tiba-tiba meletup. Membuat Arsha lebih sering mendengarkan. Lebih sabar. Lebih bijaksana. Dan Arya ... Entah mengapa merasa Hanin adalah gadis yang tepat. Arya tahu hanya dengan mendengar cerita Arsha atas karakter Hanin yang santai namun tegas itu. Terutama dipoin jaga jarak yang disebutkan Arsha.

"Enak sandwich-nya?"

"Banget!" Arsha menunjukkan dua jempol. "Dan Hanin buat sandwich bukan hanya buat Arsha. Lumayan bisa dimakan sama yang lain," tambah Arsha.

Arya tidak pernah salah menilai.

"Karena dia nggak mau kamu makan sendirian. Cukup pemikir ya yang namanya Hanin Lovina," ujar Arya kagum.

Arsha tersenyum lebar. Senang. Seakan dirinyalah yang dipuji.

"Berkat sandwich, Arsha jadi tahu beberapa hal baru mengenai Hanin," ucap Arsha.

"Contohnya?"

"Hanin yatim-piatu. Waktu dia berusia 8 tahun. Orangtuanya meninggal kecelakaan. Sejak itu Hanin tinggal sama tantenya yang bernama Raya. Dan tantenya ini yang banting tulang menghidupi mereka sampai akhirnya punya toko cake and bakery yang namanya Lovina Bakery," jawab Arsha.

Arya mengangguk-angguk.

"Jujur ... Arsha kagum sama Hanin. Sekalipun tumbuh tanpa kehadiran orang tua. Dia tetap punya mimpi dan tahu cara mewujudkan mimpinya. Dan Hanin berjuang keras untuk itu. Such a cool girl," ucap Arsha seraya menyender dikursinya lalu mengusap-usap dagunya.

Arya memandangi Arsha sambil tersenyum. Tatapan matanya menggoda Arsha.

"Jadi makin gimana gitu ya, Ar," ledek Arya.

Arsha terkekeh malu. Berbicara dengan kakaknya memang selalu menyenangkan.

"Apa sih, Kak!?" Sahutnya meski bibirnya tersenyum lebar.

"Tapi kayaknya Lovina Bakery nggak asing deh, Ar ..." Arya seakan-akan mengingatnya.

" ..."

"Astaga!!! Itu bakery langganan Mami. Your favorite choux² is from that bakery!!!" Seru Arya bak menemukan jawaban atas pertanyaan TTS³ yang sulit dijawab.

Kening Arsha mengerut.

"Masa sih, Kak?"

Arsha sangsi.

"Iyaaaa," Arya meyakinkan. "Well, Arsha juga merasa familiar sih waktu anterin Hanin tadi. Kayak pernah lihat logonya atau tempatnya," gumam Arsha merasakan yang sama.

Senyum menyeringai Arya terbentuk. Arsha heran menatapnya.

"So ... She already sits in your car, dude?"

Arsha tersenyum malu. Ia keceplosan.

***

"Siapa namanya?" Tanya Hirawan ditengah makan malam. Denting sendok dan garpu yang sejak tadi menghiasi ruang makan keluarga Reinhard kini tak terlalu kentara. Arsha mengangkat kepalanya. Menatap papa-nya yang sedang tersenyum meledek. Kebiasaan papa-nya kalau tahu ia punya pacar.

Lihat selengkapnya