KARAMEL

Fataya Azzahra
Chapter #1

Namanya Karamel

"Bee," panggil cewek berkuncir kuda di sampingku ini. Dia hari ini tampak manis menggunakan setelah blus peach dan celana jins belelnya. "Kalau kita jadian, itu enggak mungkin, kan?"

Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama, seakan aku mendengar kalimat yang salah.

"Bee? Kenapa? Kok enggak dijawab?"

Aku membuang tatapanku ke arah lain, sekilas tersenyum. Entah untuk apa aku tersenyum. Menertawakan apa yang kudengar atau menertawakan kebodohanku?

"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya.

"Ya... enggak seru aja. Kita kan udah sahabatan dari kecil. Masa jadian juga, sih?" jawabnya dengan santai. Tangannya tengah memainkan kelopak bunga climbing rose—salah satu jenis bunga yang sangat dia suka—yang tumbuh merambat di bangunan belakang kampus.

Omong-omong, kami saat itu sedang berada di halaman parkir belakang kampus tepat di bawah pepohonan. Tempat itu terbilang cukup sepi. Hanya beberapa mobil dan segelintir motor.

"Aku udah tahu gimana kamu, sifatnya kamu, baik buruknya kamu," imbuhnya. Lalu, dia kembali melihatku, "Semuanya, Bee."

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kemudian, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Selanjutnya terdengar helaan napas darinya. Aku ingat waktu itu dia memeluk tanganku dan menggenggam jemariku. "Kamu akan tetep jadi Lebah-nya aku dan aku akan tetep jadi Permen kamu."

Namanya Karamel. Cewek itu telah meninggalkanku ke Negeri Sakura dua hari kemudian, satu setengah tahun yang lalu, adalah menjadi keputusan terbesarnya. Salah satu keinginannya yang tak bisa kucegah. Dia ingin sekali ke sana, sekaligus mengunjungi kakaknya, Keenan, yang sudah kurang lebih tiga tahun bekerja di sana bersama istrinya, Viola.

Fakultas yang Karamel ambil telah mengirimnya dalam rangka pertukaran mahasiswa. Dan ya, dengan nilai yang diperolehnya, dia pantas untuk mendapatkannya. Aku ingat, dia melompat ke dalam pelukanku sewaktu dia mendapat kabar bahagia itu dari ketua jurusan program studi Sastra Jepang. Wajahnya saat itu sangat senang melebihi apa pun. Dia memintaku untuk membantunya mendata apa saja yang diperlukannya selama di sana. Dia sampai memintaku untuk menemaninya membeli keperluannya, baik itu pakaian, sepatu, ataupun baju hangat.

Foto pertama yang kudapat darinya sesampai di sana adalah foto musim seminya bersama bunga sakura. Dia memakai kimono merah muda saat itu, pakaian yang sudah lama diimpikannya. Senyumnya pun merekah terlihat di wajahnya.

Dan minggu lalu merupakan hari terbesarnya. Dia mendapat penganugerahan sebagai mahasiswa pertukaran terbaik dari kampus yang ditempatinya. Lalu, malam hari setelah acara besar itu, dia mengabariku via Skype. Dia dengan bangganya memperlihatkan trophy miliknya kepadaku. Sungguh, melihat wajah cerahnya, membuatku ingin memeluknya.

Aku sangat merindukannya. Tak sabar rasanya untuk melihatnya benar-benar ada dihadapanku. Iya, akhirnya dia pulang.

"Bang," suara Fadhel berhasil mengalihkan pikiranku. Dia menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu kamarku."Sikat kamar mandi mana?"

Mulutku terbuka seperti orang bodoh. Bisa-bisanya dia menanyakan benda itu kepadaku. "Gue enggak tahu, Dhel. Emangnya gue bawa-bawa." Kualihkan pandanganku lagi ke arah semula, ke arah laptop, tanpa menghiraukan lagi apa yang menjadi komentarnya.

"Kirain Abang tahu. Gue diceramahin Mama tuh! Gue bete, Bang. Gue disalahin mulu."

Aku mengernyit mendengar pernyataan Fadhel. Nada suaranya berbeda dari yang kudengar terakhir kali tadi malam.

"Kirain gue, Abang bisa bantu. Tapi ternyata enggak. Ya udahlah." Dia berbalik badan dan berjalan menjauh.

Mataku terpejam sesaat ketika mendengar suara pintu berdebum. Ah, dia marah.

Lihat selengkapnya