KARAMEL

Fataya Azzahra
Chapter #2

10 A.M

Aku tengah mengikat tali sepatu sport ketika Mama memanggilku dan Fadhel untuk sarapan. Urusan dengan Fadhel dua hari yang lalu telah usai. Aku sudah memberitahu Mama tentang keluhan Fadhel dan ya, Mama mengerti. Beliau sempat menitikkan air mata dan langsung meminta maaf kepadanya.

"Fabian, jadwal hari ini? Mama denger dari mamanya Karamel kalau Karamel pulang hari ini, ya?" tanya Mama seraya menaruh selembar roti ke piring dan menuangkan kopi ke dalam cangkir Papa.

"Iya, Kimel pulang hari ini," jawabku sambil berjalan ke arah meja makan. Kimel adalah panggilan kesayanganku untuk cewek itu. "Makanya, aku izin sehari sama pihak kafe dan jadwal siaran buat jemput dia."

Aku duduk di kursi makan yang membelakangi pintu kaca ke arah taman. Mengenai rutinitas keseharianku, selain seorang mahasiswa tingkat akhir, aku juga mengambil sambilan sebagai seorang barista di salah satu kedai kecil dan sebagai salah satu host di saluran radio swasta untuk mengisi waktu senggang di sela-sela jam kosong kuliah. Karena memang waktuku banyak kuhabiskan di kedua tempat itu ketika kepergian Karamel. Pun hanya ke kampus untuk keperluan dengan dosen pembimbing perihal skipsi.

Tentang keahlian barista? Aku hanya perlu belajar sebentar dengan salah satu temanku di kampus.

Omong-omong, rumahku dan rumah Karamel bersebelahan, tepatnya di sebelah kiri rumahku.

"Mama tersenyum. Mama tersenyum."Hati-hati ya, Bian! Enggak usah ngebut-ngebut. Aduh... pokoknya Mama wanti-wanti ke kamu. Kemarin anak blok sebelah keserempet motor. Mama jadi khawatir kalau kamu pulang tengah malam terus."

Aku tercengang mendengar ceramah panjang Mama yang ternyata sampai segitunya mengkhawatirkan aku. Ya iyalah, Bi, kan lo anaknya....

"Emangnya enggak bisa ganti jadwalnya, ya? Jadi sore gitu. Kalau enggak siaran pagi aja. Jadi kamu sif siang di kafenya."

Aku menghela napas. Roti yang sedang kukunyah kutelan paksa bulat-bulat agar Mama tidak melanjutkan ocehannya lebih panjang lagi. Bisa gawat nanti kalau Mama tiba-tiba datang ke studio dan meminta ganti jadwalku. Jadi aku segera menjelaskan, "Enggak bisa, Ma. Kalau kayak gitu, aku kapan bimbingannya dong? Lagian juga enggak bakal gampang buat pindah. Pendengar setiaku banyak, Ma. Bisa protes mereka kalau pindah pagi."

"Oh, gitu. Udah banyak fansnya ternyata. Pasti banyak yang minta nomer telepon deh. Iya, kan?" Mama menyenggol lenganku.

Tawaku lepas. "Ada sih, Ma. Tapi enggak Bian tanggepin. Males."

"Skripsimu gimana?" Kali ini Papa yang bertanya.

"Sebentar lagi selesai kok, Pa. Tenang aja. Bantu doa aja biar lancar."

"Bian, Fadhel mana? Dia enggak sekolah?" tanya Mama tiba-tiba ketika menyadari satu anaknya menghilang. Entah ucapanku tadi didengarnya atau tidak.

Aku hanya mengidikkan bahu untuk meresponsnya. Setahuku tadi pintu kamarnya masih tertutup rapat.

"Aku di sini, Ma."

Kulihat Fadhel dari arah tangga. Dia tengah menyusuri tangga. Tapi, ada yang salah dengan penampilannya. Dia tidak memakai seragam sekolah, melainkan pakaian semalam. Apa dia sakit?

"Kamu kenapa? Kok enggak sekolah?" tanya Papa.

Lihat selengkapnya