KARAMEL

Fataya Azzahra
Chapter #3

Kedai dan Seisinya (a)

"Bang, tolong bikinin black coffee buat cewek yang ada di pojok itu!" suara Radit terdengar seantero pantri. Memang suaranya itu tidak bisa dikecilkan sedikit.

Aku hanya berpikir bagaimana kalau dia sedang berbicara dengan seorang cewek? Apa suaranya seperti itu juga?

Aku yang sedang menikmati sarapan yang dibawakan Mama tadi, langsung menatapnya setajam mungkin agar dia bisa memelankan suaranya apalagi ini masih terlalu sepi, bisa saja pengunjung yang ada tidak suka mendengarnya. Kulihat dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang berbehel biru ketika dia sudah ada di dekatku.

"Satu lagi, dia minta kopinya pahit." Kali ini dia mengecilkan volume suaranya. Karena kalau tidak, mungkin saja dia tidak dapat memamerkan giginya kepadaku lagi esok hari.

"Emangnya siapa sih cewek yang minta kopi pahit itu?"

"Itu lho, cewek yang suka baca buku di meja pojok," jawabnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. "Eh, tapi kayaknya dia lagi berubah mood deh. Tampangnya kusut gitu. Soalnya, biasanya kan dia pesan minuman yang manis-manis."

Omong-omong, Radit memanggilku dengan panggilan abang membuatku teringat kepada Fadhel. Dia memaksa memanggilku abang karena selain terpaut usia tiga tahun lebih tua darinya, dia juga merupakan orang baru di kedai ini.

Pertama kali dia memanggilku seperti itu, aku merasa terganggu. Sempat aku menegurnya untuk mengubah panggilan terhadapku, tapi dia menanggapinya dengan sebuah cengiran. Dia malah meminta izin kepadaku untuk membiarkannya menganggapku sebagai kakak lelakinya. Dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.

Aku berdecak sambil beranjak dari tempatku, mengambil cangkir lalu menyeduh kopi. "Lo jangan sok tahu gitu! Jangan langsung menilai seseorang dari penampilan luarnya. Walau bagaimanapun juga, dia itu seorang cewek yang harus dihargai." Aku mengaduk kopi dan meletakkannya di hadapan Radit.

"Mulai deh kuliah filsafatnya," gerutu Radit.

Aku hanya tersenyum. Dan sebelum Radit beranjak dari tempat, aku bersuara lagi, "Satu lagi," dia menoleh ke arahku masih dengan raut wajah yang biasa kulihat setiap kali aku menasehatinya, malas, "jangan pernah teriak lagi. Gimana kalau nanti customer denger?" Aku mendesah, "Ya... itu kalau lo masih mau denger suara gue."

Lihat selengkapnya