Dia sudah berhasil menata suara untuk lebih sopan, kukira. Aku tak perlu bertanya lebih banyak lagi kepadanya, karena aku tahu itu suara siapa. Maka, aku segera keluar menghampirinya. Tak mau aku membuatnya menunggu lebih lama lagi. Tapi, sebelum aku benar-benar keluar, aku menangkap raut yang berbeda di wajah Bunga.
Dengan sedikit merapikan kemeja cokelat bermotif garis vertikal cokelat dan kuning gading di bagian saku kemeja dan kerah yang kukenakan sebagai seragam kedai ini, aku menyapanya, "Hai, Karamel."
Karamel tengah menatap ke arah taman kedai ketika aku menghampirinya. Dia membalikkan tubuhnya dan tersenyum. "Hai!" Diraihnya jemariku. "Kamu enggak pernah kasih tahu aku kalau kerja part-time di sini. Kenapa? Kenapa aku enggak dikasih tahu? Kamu tega sama aku, Bee! Aku nyariin kamu, tahu enggak?"
Aku terkeker mendengar omelan panjangnya. Lalu, segera saja menariknya ke meja yang kosong di sisi sudut ruangan yang letaknya agak menjauh dari pantri. Aku tahu dua pasang mata di pantri tak lelah mengamatiku.
Setelah Karamel duduk, aku menopang tubuhku dengan kedua tangan di meja. "Mau minum apa?"
Karamel melepaskan tas kecilnya dan merapatkan jaket cokelatnya. Lalu, pandangannya beralih kepadaku. "Hmm, enggak deh."
Tangan kananku terulur dan mengacak-acak rambutnya. "Tunggu sebentar, ya!"
Aku berbalik badan dan benar saja, terlihat dua orang yang sedang melihat ke arahku. Bukannya bubar karena ketahuan olehku, mereka malah memasang raut tanda tanya di wajah masing-masing. Lalu, pandanganku fokus mengarah kepada Bunga. Entah apa yang dipikirkannya, tapi sepertinya dia tidak suka dengan keberadaan Karamel di sini.
Sebelumnya memang keberadaan Karamel sebagai sahabatku tidak diketahui oleh Bunga meski kami bertiga berada di satu kampus. Pun sebaliknya, Karamel tidak tahu apa pun tentangnya. Aku dan Bunga juga baru dekat sekitar satu setengah tahun ini. Dan itu pun karena kerjaan.
Aku segera memasuki pantri untuk membuat segelas caramel macchiato serta memberinya sepotong cake. Aku tahu dia belum makan apa pun sejak tadi. Itu terlihat pada bibirnya yang kering. Aku hapal dengan wajah belum makannya.
"Bang, itu siapa? Cewek lo? Boleh gue kenalan?" Pertanyaan yang sudah kuperkirakan akan ditanyakan kini sudah terlontar dari Radit.
"Sahabat gue," jawabku sambil menyeduh air. "Kenapa?"
"Enggak apa-apa, sih." Radit membantuku mengambilkan piring kecil. "Cuma agak aneh aja tiba-tiba ada cewek yang dateng nyariin lo." Dia membantuku dengan memotong cake, lalu ditaruhnya di atas piring.
Aku tersenyum kecil. Senyum itu lebih tertuju kepada diriku sendiri.
Aku melihat ke arahnya setelah semua selesai. "Enggak semua hal tentang gue, lo harus tahu."
Aku segera keluar tanpa melihat lagi ke arah yang lain. Kedatangan Karamel telah merebut semua pikirkanku.
"Jadi, apa jadwalmu hari ini?" tanyaku ketika sudah duduk di hadapannya seraya meletakkan menu yang kubawa.
Karamel menopang dagu dengan kedua tangannya. "Aku mau ikut kamu seharian."
Satu alisku terangkat, hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Membayangkan dia bersamaku seharian itu memang terlihat menyenangkan, tapi hal itu pasti sangat melelahkan baginya.
"Kamu yakin?"
Dia mengangguk antusias.
"Tapi ini sampai malam, lho. Dan kerjaku enggak di sini aja."
Raut wajahnya berubah.
"Aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu kan, baru dateng dari luar negeri. Nanti kalau kamu sakit karena kecapekan, gimana?"