"Bee, siaran sampe jam berapa?" Karamel mengatakannya dengan mulut yang terisi penuh oleh roti. Pada akhirnya, kami tidak makan siang seperti rencana awal. Karena sewaktu di kedai tadi, aku harus membantu Bunga dan Radit melayani para costumer sampai pukul dua siang.
Aku mengunci pintu dan mengencangkan sabuk. Memencet starter dan perlahan aku menjalankan mobil hendak menuju studio radio. Pukul tujuh malam. Tapi kayaknya mau ada perubahan jadwal hari ini. "Emangnya kenapa? Lo mau pulang sekarang?"
"Umm, enggak. Eh, pohon mangga di belakang enggak ditebang, kan?"
Aku mengernyit mendengar pertanyaannya yang jauh dengan pertanyaan sebelumnya. Apa dia mau memanjat pohon untuk masuk ke kamarku lagi?
"Heh! Kenapa? Jangan ketawa mulu."
"Lo lucu, Bee, kalo bingung kayak gitu." Satu tangannya mencubit pipiku, membuatku mengaduh kesakitan. "Sumpah, ini yang enggak bisa gue lihat pas di Jepang."
"Silakan aja sih kalo butuh bawa gue ke sana."
"Mana tahu kalo gue sebutuh itu sama lo, Bee." Karamel menghela napas. "Gue mau menyelinap diam-diam lagi ke kamar lo! Pintu jangan lo kunci, ya."
"Buat apa? Lo kan bisa lewat bawah."
"Tapi itu masih berlaku kan, Bee? Enggak apa-apa, kan? Boleh, ya! Lo enggak lupa kan sama janji kalo rumah lo selalu kebuka buat gue?"
Ah, itu! Janji yang kuucapkan saat Karamel memutuskan untuk pergi ke Jepang.
"Iya, inget," jawabku. "Tapi, jangan ngeluh kalo pohonnya banyak semut atau nemuin ulat bulu di situ, ya!"
Karamel menyengir sambil mengangkat kedua ibu jarinya.
Sekitar setengah jam kemudian, aku mengajak Karamel masuk ke gedung siaran di lantai tujuh setelah kuberitahu kepadanya untuk tidak berisik dan tidak menggangu selama jam siaran.
"Fabian, ada informasi perubahan jadwal siaran hari ini," kata Reno, kepala bagian siaran. "Dan itu berlaku hari ini," dia melihat arlojinya, "Sekarang jamnya Andena sama Tio. Jadi jadwal on air¹ lo jam sembilan sampe jam dua belas."
Aku mematung. Berarti selama itu aku harus menunggu. Kulihat Karamel, lalu aku mendesah. Oke kalau aku harus menunggu. Aku bisa melakukan apa pun di sini. Tapi bagaimana dengan Karamel? Apa dia mau menunggu?
"Sori, jadwal lo digeser ke jam segitu. Dan baru gue kasih tahu hari ini. Kemarin gue lupa minta persetujuan dari lo. Enggak apa-apa kan lo kena segue²?"
Aku menghela napas sambil mengusap wajahku. Kurasakan Karamel memperhatikanku, langsung saja kuraih jemarinya dan menggenggamnya.
"Ini juga karena gue lihat raatting³ acara lo bagus banget, Yan. Dan setelah gue melakukan survei buat acara lo ini, semua ngasih respons positif."
"Positif gimana? Perasaan gue biasa-biasa aja pas on air."
"Mereka setuju kalau jamnya dipindah. Juga karena banyak yang galau-galau gitu kal malam. Jadi ya semakin banyak yang dengar kan semakin bagus, Yan." Reno menepuk pundakku. "Lo bisa bikin skenaradio⁴ dulu kalau lo mau. Perbanyak sesi curhat juga bagus tuh kayaknya."
"Iya dan gue serasa psikolog cinta beneran."
Reno tertawa. "Ya itu tanggung jawab lo." Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, "Black Swan nyariin lo tuh dari kemarin."
Black Swan? Untuk apa dia mencariku?
"Eh, ini cewek lo, ya? Cantik juga." Reno mengulurkan tangan kanannya. "Gue Reno, atasannya Fabian."
Cewek di sampingku ini tersenyum dan menyambut uluran tangan Reno, "Karamel."
"Nama yang manis." Terdengar seperti sebuah gumaman bagiku ketika Reno mengatakannya. "Eh, Mbak. Hati-hati ya sama Fabian. Cewek yang ngantri banyak, lho!"
"Eh?"
"Mel, enggak usah dengerin Reno," sahutku.
"Banyak yang jatuh cinta sama suaranya, Mbak. Malah ada yang ujung-ujungnya minta nomor telepon."
Aku menarik genggamanku, "Makasih ya, Ren." Lalu, berjalan menjauh.