KARAMEL

Fataya Azzahra
Chapter #10

Sandwich Cinta & Dia

Niatku untuk membuat "sandwich cinta" akhirnya harus menguap. Memang sengaja aku memberinya nama "sandwich cinta". Pikiran itu terlintas begitu saja ketika sedang berjalan menuju dapur. Dan harusnya ini adalah hal yang bisa membuat Karamel tersenyum. Tetapi... ah, sudahlah.

Perasaanku mulai tidak enak dan seharusnya aku menanyakan tentang apa yang terjadi sehingga harus ke bandara, tapi apa daya. Melihat wajah sedihnya membuatku tak bisa berkata apa pun. Mungkin dia akan bercerita saat hatinya tenang nanti.

"Ke bandara? Sekarang?"

Karamel berjalan mendahuluiku menuju pintu sambil berkata, "Iya. Boardingnya nanti jam delapan malam."

Kulihat arloji yang melingkar di pergelangan kiri. Pukul tiga sore. Masih banyak waktu yang bisa kugunakan untuk bersamanya. Sebelum mengikutinya keluar, segera saja aku mengambil tiga kaleng minuman soda untuk kami nikmati. Urusan sandwich sepertinya Radit bisa kuandalkan. Semoga saja dia tidak mempunyai dendam terhadapku.

Apa ini tentang pacarnya? Tapi kalau iya, kenapa dia harus ada air mata? Atau terjadi sesuatu dengan pacarnya itu? Lalu, aku bagaimana? Ah, pelik sekali kisahmu, Fabian.

"Tapi kenapa harus sekarang?" Karamel duduk berhadapan dengan Radit. Wajah sedihnya tadi berubah jadi marah. "Aku enggak siap, Bee."

"Untuk?" tanya Radit.

"Nikah muda."

Hatiku meringis mendengar jawabannya. Dugaanku ternyata benar.

"Tenangin diri dulu, Mel." Aku menyodorkan dua kaleng soda untuknya dan Radit. "Entar baru cerita, tapi ya terserah lo sih mau cerita apa enggak."

"Makasih, Bee." Karamel membuka kaleng soda, lalu menyeruputnya. "Gue bakalan cerita nanti."

"Lho, kok jadi minuman soda sih? Sandwich-nya mana?" Radit celingukan melihat di sekitarku.

Aku menjitak pelan kepalanya. "Nyari apaan? Sandwich-nya belum gue bikin." Aku menarik kursi di sebelah Karamel. "Ada yang lebih penting daripada itu."

Decakan kecil terdengar darinya. "Iya deh yang punya hal penting. Gue yang bikin sandwich-nya buat kalian." Dia memainkan kedua alisnya naik-turun. "Lo mau sandwich apa, Bang?"

"Tuna cheese whole wheat panini aja. Lo apa, Mel?"

"Samain aja."

Radit berdiri. "Baik. Silakan ditunggu."

"Makasih, Dit," jawabku dan Karamel bersamaan.

"Jika menunggu berlanjut, segera hubungi dokter cinta," sambung Radit. Dia terbahak-bahak mendengar kalimatnya sendiri, sedangkan aku dan Karamel menatapnya datar. "Yah, kok enggak ketawa sih? Enggak lucu, ya?"

"Garing!"

Mendengar celetukkanku, membuatnya terdiam. "Yah, gagal dong gue." Jemari Radit mengetuk-ngetuk meja. "Kan gue nyoba kayak lo bawain siaran semalam, Bang." Dia kembali duduk dan mencondongkan tubuhnya. "Tapi, Bang, semalam lo keren banget bawainnya. Gue di kosan jadi kehibur tiap denger lo siaran. Sayangnya, enggak setiap hari sih, ya? Senin, Rabu, Jumat doang. Udah kayak puasa Daud aja. Sehari iya, sehari enggak."

Aku terkekeh mendengar celotehannya. Sepertinya dia melupakan apa yang diinginkannya beberapa saat yang lalu. "Makasih, Dit, udah jadi pendengar setia gue."

Lihat selengkapnya